empat puluh dua

36 1 0
                                    

"I'm going somewhere in the middle of nowhere now."

Rei ingat ketika malam itu ia menjawab sambungan telepon dari Ni-ki dan yang pertama menyapanya adalah deru napas lelaki itu sebelum suara paraunya. Itu adalah kenangan dua tahun lalu, ketika Papa baru saja mengatakan kepada semua orang kalau ia mencintai Ibu Ni-ki sehingga menjelaskan alasan Mama melompat ke Sungai Han dua hari sebelumnya.

"I think I can get you out of my mind if only I go far. But it doesnt work," Suara lelaki mulai memberat dan meskipun Rei tidak melihatnya ia tahu lelaki itu menangis. "Can you tell me what should i do to forget you?"

"You don't have to go far, Ni-ki."

"Its hurt." Tangisan Ni-ki semakin keras dan Rei hanya memejamkan mata ketika lelaki itu melanjutkan. "They say i have to try to live without you to forget you. But how come? I spent my whole life even more with you than my parents."

"So tell me how can I forget you without having to feel all this pain."

"I don't know, Ni-ki.  I don't know how.  But what i know, you will only feel the pain of separation only when you love that person."

"Just go home, Ni-ki. You just need to stop loving me so the pain goes away."

Rei terbangun dari tidurnya ketika ia merasakan seseorang menyeka matanya dan ia mendapati lelaki itu tengah menatapnya dengan dalam saat ini.

"Bad dream?"

Rei mengangguk sebelum mendekat mencari kehangatan dan berusaha menenangkan dirinya dengan merasakan oksigen di rongga dadanya.

Its okay. Youre still alive, Rei. Ucap wanita itu pada dirinya sendiri.

Rei berdeham, "Kita masih punya berapa jam lagi?"

"Dua jam lagi. Satu jam untuk mempersiapkan diri, dan satu jam dalam perjalanan ke bandara."

"Oh, kita ke bandara?"

"Mm-hm. Papa bilang mau mengumpulkan anak-anak agar tidak berpencar."

"Ada anak-anak juga?"

"Anak-anak itu maksudnya aku, kamu, J, dan beberapa anak orang lain yang aku nggak tahu anak siapa saja yang Papa ajak."

Rei tidak dapat menahan kerutan di dahinya dan tertawa geli. "Kita masih anak-anak?"

"Tentu saja nggak. Tapi bagi Papa dan para orang tua, selamanya kita tetap anak-anak di mata mereka." Jawab Haruto yang membuat kepala Rei hampir kembali berkelana andai dia tidak lebih dulu menyadarkan diri dan duduk. "Oke, aku harus pulang buat mempersiapkan semuanya."

"Aku pikir kamu masih mau di sini?"

"Iya sih. Tapi aku nggak mau buru-buru dan lupa bawa barang penting. Aku males banget kalau sampai mukaku belang karena semua orang mengejek aku karena itu."

Haruto tertawa sebab ia merasakan hal yang sama, jadi ia membiarkan Rei bergerak ke pinggir kasur.

"Since in Namhae, i'm curious about your tattoo. Is it butterfly?" ujar Haruto yang membuat Rei menoleh ke belakang untuk mengintip tato kupu-kupu yang setengah bagiannya terlihat di atas tulang belakangnya. Rei menoleh kemudian menyatukan rambutnya ke satu sisi sehingga tato itu bisa terlihat jelas. "Youre right. Do you want to go see my butterfly?"

"What is an invitation to having sex?" Tanya Haruto dengan mulut terbuka dan alis terangkat terkejut karena ia mendadak mengingat dialog Park Jae-eon kepada Yu Nabi di drama Nevertheless yang beberapa hari lalu ia tonton di studio Maki-Naki saat bosan sementara Rei melempari wajahnya dengan bantal persis seperti pagi itu di Namhae.

"Wash your brain!"

"Loh, dialognya hampir sama kayak di drakor beneran!"

Rei geleng-geleng kepala dan beranjak dari kasur sementara Haruto mengerang karena wanita itu pasti menganggapnya berbohong.

"Rei!"

Haruto mendecak dengan sebal karena Rei sudah masuk ke kamar mandi dan mengabaikannya. Lalu beberapa saat kemudian ia sudah memakai baju yang kemarin dan menatap Haruto dengan mata setengah memicing.

"Aku jadi ingat waktu di rumah sakit kamu bahkan mau buka baju di depan aku. Apa sih yang kamu pikirin?"

"Oh? Balas hutang budi." Rei melototinya dan Haruto menjelaskan. "Biasanya di drakor kalau nggak mempan pake uang dibayarnya pake badan."

"Trus, berapa banyak cewek yang kamu kasih tawaran begitu?"

"Aku baru mencobanya di kamu."

"Liars." Geram Rei yang kemudian melempar kaos yang dia pakai semalam ke badan Haruto dengan kesal sebelum pergi dari sana sambil bersungut-sungut.

Haruto mengusap wajahnya dengan gusar dan berakhir meremas rambutnya. Ia berharap bisa memutar waktu untuk menjaga mulutnya agar tidak menceletuk asal lain kali.

...

...

Mr. Watanabe sengaja membuat anak-anak dari kolega terdekatnya berangkat bersama dengan jet pribadinya karena ia pikir, itu akan memudahkannya memfasilitasi mereka sementara ia dengan para orang tua yang lain berangkat lebih dulu.

Jungwon bisa melihat Yoon dan Jeongwoo sedang mengobrol sambil menunggu sementara ia tidak melihat wanita berambut sebahu di dekat mereka.

"... Lo nggak salah denger?"

"... Nggak kok. J yang cerita sendiri semalam di mobil."

"... Berarti rumornya bener dong kalau mereka pacaran?"

"... Iya kali, buktinya dia sampai ikut."

"... Wah gokil."

"... Kontraknya sama agensinya yang sekarang akhir tahun ini habis kan? Lo mending pinter-pinter ngelobi deh ntar!"

"... Itu sih tanpa lo suruh juga gue udah tahu!" Sahut Jeongwoo sebelum tanpa sengaja menyadari keberadaan Jungwon dan ia dengan cepat melambaikan tangan. "Here brother!"

Jungwon berhenti memindai sekeliling dan berakhir mendekati mereka sementara Yoon tanpa diminta segera memberitahu.

"J belum datang."

Mereka saling menatap dan Yoon menyunggingkan senyum kecut. "Doha nggak ikut."

"Junghwan juga nggak ikut. Makanya dia bebas nggak ada pawang." Sahut Jeongwoo agar tidak terjadi keributan di antara mereka. Untungnya Jungwon tidak menanggapi sikap Yoon yang tidak ramah sama sekali dan kini perhatiannya teralih kepada pasangan menawan yang juga berjalan mendekat ke arah mereka.

"Yoon! Cubit gue cepetan!" Geram Jeongwoo yang langsung membawa tangan Yoon ke wajahnya dan wanita itu mencubit pipinya dengan keras tanpa ragu.

"ARGH!!!"

B; rei • haruto (fanfiction)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang