tujuh belas

35 6 0
                                    

Faktanya Haruto belum juga pergi dari apartemen Rei dan lelaki itu sudah menjajah dapurnya sekarang seperti tempat ini adalah rumahnya. Begitu keluar dari kamar, Rei bisa mencium aroma mi instan yang membuat perutnya lapar.

Rei menelan ludahnya dan ia melirik ke arah Haruto yang saat ini sedang mengaduk mi-nya di dalam panci sampai rata dan bersiap untuk makan bahkan dengan wajah khas bangun tidur dan rambut jabrik.

"Now you are invaders and thieves." Sindir Rei sambil meremas kaos jeleknya sebal. Ia berjalan mendekat dan Haruto menyeringai kecil saat melihat ke arahnya lalu menceletuk. "Ramyeon meokgo gallae?"

Rei menggeram, ia menyabet lengan Haruto dengan kaos di tangannya sementara lelaki itu tertawa lagi mengejeknya.

"Diam. Gue nyuruh lo pergi dari tadi tapi kenapa masih di sini dan ngobrak-abrik dapur gue?" Ujar Rei sedetik sebelum perutnya berbunyi yang membuat Haruto tertawa lagi.

Wah, lelaki itu banyak tertawa pagi ini—tidak tepat juga karena secara teknis sekarang sudah mendekati jam makan siang—dan Rei benar-benar benci suara renyahnya itu.

"Lo juga lapar." Ucap Haruto setelah tawanya mereda. "Kalau begitu gimana kalau kita berhenti bertengkar dan bantuin gue cari lap buat angkat panci ini? Gue nggak bisa mengangkatnya dengan tangan kosong, dan kita nggak mungkin makan di atas kompor."

"Done." Rei menyodorkan baju yang ia bawa-bawa dari tadi untuk dibuang dan Haruto mengerutkan alis. "Bukannya ini baju yang lo pakai semalam?"

"Iya. Lagipula nggak mau gue pakai lagi, dan dia juga punya fungsi yang sama kayak lap. Jadi lumayan kan sebelum dibuang."

Haruto meraih kaos tersebut dan melebarkannya sehingga ia bisa melihat tulisan besar dan kompilasi wajah dengan ekspresi aneh yang semalam tidak ia amati sama sekali sebelum Rei merampasnya sambil melotot. "Bisa nggak tinggal pakai aja dan nggak usah dilihat-lihat?"

Haruto mengangkat sebelah alisnya. "Kirei?"

"Just a silly nicknames." Sahut Rei dengan wajah memerah dan melewati Haruto untuk mengangkat panci tersebut sendiri andai ia tidak memegang sisi yang salah dan berteriak.

Haruto mendecak. "Stupid-brat." Seru lelaki itu yang langsung membawa jemari Rei ke wastafel untuk disiram di bawah pancuran air mengalir.

"Is it hurt?"

"Dikit."

"Siapa yang nyuruh lo angkat sendiri coba?" Haruto kembali memarahinya dan Rei memutar kedua bola mata jengah. "Karena lo kelamaan dan mi-nya keburu melar. Lagian mana gue tahu kalau pancinya bakal seberat itu?"

"Makanya jangan sok tahu." Semprot Haruto menjengkelkan dan Rei sangat malas mendengar suaranya lebih lama lagi ataupun berdekat-dekatan dengan lelaki itu. Jadi ia segera menarik tangannya yang dipegang Haruto dan mengedikan dagu ke arah panci. "Enough. Im fine. Sekarang gue sangat lapar dan gue nggak mau makan mi yang terlalu melar."

"You, Kirei, that silly nickname match for you." Sindir Haruto sebelum berjalan melewati Rei dan memindahkan panci tersebut dari atas kompor dengan sangat mudah.

Mereka makan tanpa bicara lebih lanjut lagi dan sama-sama kesal terhadap satu sama lain. Kendati demikian, ketika Rei melihat wajah lelaki itu memerah karena ramyeon pedas yang dibikinnya sendiri, ia langsung bergerak mengambil sekarton susu yang masa kadaluarsanya paling jauh di antara yang lain dari dalam kulkas.

Haruto tentu saja tidak langsung menuangkan susu tersebut ke dalam gelas karena gengsinya yang tinggi, namun Rei menendang tulang keringnya pelan. "Minum. Lo bikin selera makan gue terganggu karena napas pendek-pendek lo."

"Gue nggak kepedesan." Ujar Haruto keras kepala. "Tapi gue akan meminumnya supaya lo nggak cerewet."

Rei memutar kedua bola matanya dengan jelas sebelum melanjutkan kegiatan makannya sampai bersih lalu menatap lurus Haruto yang juga melakukan hal yang sama.

"You ugly." Ejek Rei karena jejak bantal di wajah bengkak lelaki itu, dan rambut jabriknya yang berantakan. Sementara Haruto membalasnya sengit, "No one believes. Karena gue akan tetep ganteng dalam keadaan apapun."

"Talk to my ass." Balas Rei sinis. Ia kemudian menggaruk pangkal hidungnya sambil terus mencuri-curi pandang sampai Haruto jengah sendiri. "Berhenti ngeliatin gue. Cepet bilang, lo mau apa?"

"Nggak ada." Tukas Rei cepat, namun sedetik kemudian ia menurut ragu. "Soal semalam..."

"Hm?"

"Gue bilang apa aja sama lo?"

Haruto menyesap susunya lagi dan tersenyum ketika melakukannya dengan sebersit niat usil di dalam kepala.

"Jadi lo mau tahu?"

Rei mendongak menatap Haruto penuh harap, lalu kemudian ia menggigit bibir bawahnya sendiri. "Apa?"

"Kayaknya lebih baik kalo lo nggak tahu deh." Haruto mengibaskan tangannya tak ambil pusing dan membiarkan Rei melemparkan permen dari guci kecil di dekatnya. "Youre playing me!"

Haruto membuka bungkus permen tersebut dan memakannya santai. "Serius. Kayaknya lebih baik lo nggak tahu, itu bukan hal baik buat didengar."

Kedua alis Rei terangkat, ia bersiap untuk mengonfrontasi lebih lanjut kalau saja Haruto tidak menyumpal mulutnya dengan permen juga saat baru terbuka.

"Lagian itu bukan urusan gue. Gue bakal pura-pura nggak dengar lalu melupakannya."

Rei menggigit permen itu sampai pecah dan ia menyahut sinis. "Gimana bisa gue percaya sama lo kalo gue aja nggak tahu apa yang udah lo tahu tentang gue?"

Haruto mengedikan bahu sementara Rei semakin frustasi. "Jawab aja apa susahnya sih? Gue bilang apa aja semalam? Tentang Ni-ki? Iya?"

"Ni-ki? Your step-brother?" Tanya Haruto dengan bingung. Rei menyadari ia mengatakan hal yang salah dan untungnya bel rumahnya menyelamatkan Rei dari interogasi dadakan Haruto.

"Good. Gue ada tamu, jadi alangkah baiknya lo pergi juga dari sini."

B; rei • haruto (fanfiction)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang