Ch. 02

332 64 0
                                    

  Suara paper cutter dari Jihoon terdengar berisik saat pisau pemotong mirip tuas itu menabrak papan tempat kertas ditaruh, begitupun suara Stapler jilid yang sedang digunakan Junghwan untuk menggabungkan kertas yang jumlahnya tiga puluhan ke atas.

"Tidak masalah jika tidak ingin menceritakannya, Doyoung." Kali ini yang bersuara adalah Xave, sepertinya sosok laki-laki yang satu ini cukup irit bicara atau mungkin karena ia sibuk mendesain sampul buku. Bahkan ia tidak banyak bergerak dan hanya diam di depan komputer saja.

"Tapi rasanya kurang adil, kami juga akan menceritakan tentang kisah kami. Ini semua agar kita bisa saling mengerti, kau harus cukup terbuka dengan kami Doyoung. Kau beruntung tidak bernasib sama seperti beberapa anak yang cukup pendiam, aku bisa memahami dirimu." Jihoon berbicara panjang lebar agar Doyoung tidak langsung sensitif dan salah tanggap atas pertanyaannya itu.

"Banyak perundungan terhadap anak pendiam seperti mu." Junghwan memperjelas perkataan Jihoon, Xave menatap sebentar pada Doyoung lalu fokus pada pekerjaannya lagi. Sedangkan Doyoung yang mendengar dan melihat sendiri ketika ia pertama kali datang ke panti, banyak anak-anak yang mendapatkan tindakan diskriminasi.

"Aku sudah pernah berada di posisi mereka," jawab Doyoung bersuara pelan, semua mata sekarang tertuju padanya, Xave bahkan memilih mengabaikan komputernya dan beranjak dari kursinya, Xave melangkah dan duduk di bangku kosong didekat Yoshi. Junghwan dan Jihoon saling tatap, tangan mereka tiba-tiba berhenti bekerja saat menyadari kalau Doyoung akan menceritakan tentang kisah masa lalu yang belum genap setahun terjadi di hidupnya.

"Bahkan kerabat ku sendiri yang melakukannya. Tapi semua berakhir dengan baik, saat dia meminta maaf padaku-" suara Doyoung tenggelam oleh interupsi dari Jihoon yang nyaring, Jihoon berkata.

"Kau memaafkannya?" Mendengar pertanyaan dari Jihoon, Doyoung mengangguk kecil lalu matanya menatap beberapa sisa potongan kertas yang melayang tertiup angin nan masuk ke dalam gudang.

"Lagipula dia sudah meninggal." Jawab Doyoung menatap wajah Jihoon dan Junghwan lalu Yoshi dan Xave yang tampak terkejut, mereka benar-benar tidak beranjak dari tempatnya masing-masing dan menunggu kisah lain mengenai masa lalu Doyoung.

Semua mulut diam, semua suara rasanya tenggelam dan masih setia menunggu Doyoung, namun tidak ada lagi sebuah kisah akan ia keluarkan, sampai akhirnya Xave lah yang bersuara.

"Aku yakin tidak hanya itu masa kelam mu Doyoung, kau kuat sudah bisa berperang sampai hari di mana kamu menyelesaikannya. Omong-omong soal liburan mu, bagaimana? Aku mendengar sedikit cerita dari Bunda sebelum kau datang kemari." Xave memulai pertanyaannya dengan memuji Doyoung, mungkin dengan cara itu bisa membuat Doyoung lebih transparan.

"Benar katanya kau sering menghadiri libur tahunan bersama keluarga besar, itu pasti menyenangkan." Yoshi menyahut dengan suaranya yang tampak bahagia dibuat-buat, senyumnya pun mengambang saat membayangkan jika liburan keluarga besar itu terjadi di kehidupannya.

  Namun Doyoung diam, tangannya asik mengelus kertas yang sudah menjadi satu karena di Staples oleh Junghwan, anak itu tampak murung. Hal tersebut membuat ke-empat teman barunya merasa bersalah atas pertanyaan mereka, Yoshi dan Xave saling pandang karena mereka merasa sudah membawa Doyoung terlalu jauh kembali ke masa kelamnya.

"Tidak segala hal yang menurut mu buruk juga buruk, bagi orang lain Doyoung. Aku menginginkan hal itu terjadi dalam kehidupan keluarga ku sayangnya, semuanya hanya sebatas harapan-" sepertinya Jihoon paling suka menginterupsi perkataan orang lain.

"Yoshi korban kekerasan fisik dari orang tuanya sendiri, semuanya terjadi karena Yoshi tak cukup memuaskan secara kemampuan kognitif. Dan semuanya terjadi sejak Yoshi berusia tiga belas tahun,  Yoshi datang kemari saat usianya tujuh belas tahun. Dia menderita cukup lama, kami semua pernah melihat memar dan tangan Yoshi pernah patah akibat kekerasan fisik itu." Jelas Jihoon sambil menatap hidung dan bibir pink lotus milik Doyoung yang masih murung, bahkan ia tampak memeluk lututnya.

"Ku rasa aku bukan orang yang beruntung, dan orang tua ku terlalu egois. Jadi, kita di sini semua sama Doyoung, menyimpan banyak hal pahit tentang jalan hidup ini. Tidak masalah bukan, jika kami ingin tahu lebih spesifik tentang kisah masa lalu mu?" Yoshi berkata demikian karena menurutnya itu adalah kewajiban juga dokter psikiater yang mengantarnya kemari pernah bilang padanya, kalau seseorang yang sedang mengalami gangguan mental tidak membutuhkan nasihat tapi, butuh didengarkan.

"Aku pernah di posisi mu Doyoung, saat semua orang tidak percaya akan apa yang aku lihat, mungkin karena aku hanyalah anak berusia sepuluh tahun, tapi aku ingat semuanya." Doyoung menoleh saat mendengar suara Jihoon yang terdengar serius dan bergetar sedikit, awalan kata yang digunakan Jihoon membuat Doyoung merasa memiliki kesamaan kalau ketidak percayaan orang lain tentang kisah masa lalunya.

"Jihoon menjadi saksi atas pembunuhan Ibunya sendiri, lebih mengejutkan bahwa yang membunuh Ibunya adalah Ayahnya sendiri. Aku pun tidak bisa membayangkan jika berada di posisi Jihoon." Junghwan berkata demikian sambil menatap Jihoon yang menunduk sambil mengusap pipinya yang basah.

  Doyoung menelan ludahnya yang hambar, Xave dan Yoshi tampak mengusap dan menepuk pundak Jihoon dengan maksud menenangkan anak itu, Jihoon adalah anak yang kuat dalam artian tidak mudah menangis dan mengeluh sejak masih sekolah dasar namun, perkara dalam lingkup keluarganya membuat Jihoon sensitif dan mudah menangis, dia diklaim gangguan mental FOA (fear of Abandontment) dan hematophobia serta Aikmophobia. Cukup kompleks namun ia berhasil bertahan.

"Aku," suara Doyoung membuat seluruh atensi terarah padanya, entah kenapa teman-teman barunya itu sangat penasaran akan masa lalu Doyoung yang rasanya mustahil bisa dipercayai mereka, semuanya terasa janggal dan tidak masuk akal tapi, mungkin mereka mengerti jika Doyoung benar-benar menceritakannya.

"Seluruh keluarga besar ku meninggal saat merayakan libur tahunan, salah satu kerabat ku bersikap aneh, dia melompat dengan sebilah pisau dan membunuh siapapun di tempat itu. Aku pikir dia psikopat, tapi tindakannya tidak dari dirinya, melainkan orang lain yang mengendalikan tubuhnya. Ironisnya, sebelum meninggal kerabat ku mengalami hal yang kompak seperti orang pertama yang berubah aneh. Ternyata, keluarga ku menganut sebuah kepercayaan dari leluhur, semacam ilmu sihir dan kelompok satanic yang bisa berbuat apapun seperti Tuhan, mereka menyembah orang mati dan aku harus kehilangan saudara ku di malam itu. Kau pernah dengar, tentang kerasukan?" Doyoung bercerita panjang pada teman barunya, tatapan matanya masih pada lem tembak yang sudah dimatikan. Suasana gudang terasa sunyi, teman-teman barunya itu sedang memikirkan cerita dari Doyoung sambil merenungkannya lagi—memikirkan hal tersebut meskipun rasanya di luar nalar, terutama Jihoon dan Xave yang berpikiran logis, sepertinya Yoshi dan Junghwan juga demikian tapi mereka tampak setuju-setuju saja dengan cerita dari Doyoung, lagi pula yang dikatakan Xave benar, bahwa tidak ada yang waras di panti ini.

Yoshi menyikut Xave dan Jihoon, berharap dengan begitu kedua temannya itu tak perlu menyampal dan mengomentari tentang kisah masa lalu Doyoung, memang sulit dipahami tapi bisa saja mereka bahas saat di kamar nanti. Intinya, untuk sekarang berbuat dan bertindak normal saja agar Doyoung tidak merasa kecil hati.

"Kau pasti berjuang sangat keras." Xave melangkah dan menepuk bahu Doyoung begitupun Jihoon yang langsung mendekat kepada Doyoung lalu memeluknya, yang lain mengikuti saja aksi Jihoon, mereka melakukan hal yang sama dan memberikan sedikit kekuatan untuk Doyoung agar masih bisa bertahan setelah masa sulit yang mereka sendiri tidak mengerti.

BONEKA DAGING 2

THE-CURSED |  DOYOUNG & YOSHITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang