Ch 12

164 22 1
                                    

  Derit dari berisiknya roda kecil di atas lantai kayu membuat Doyoung dan Yoshi tidak lagi bersuara, mata mereka menatap kursi roda tanpa pemiliknya duduk nyaman. Mereka tidak melihat kehadiran Junghwan di sana, tapi mata Doyoung bisa melihat kalau Junghwan berada di bawah mereka. Kursi roda tiba-tiba melaju ke arah mereka, dan pintu rubanah bergetar karena seseorang mendorongnya dari bawah.

  Yoshi bahkan melihat siapa gerangan yang berusaha membuka pintu rubanah, matanya hitam legam dengan suara yang parau berteriak murka. Wajahnya yang pucat lebih menakutkan saat ditatap dalam cahaya remang lampu neon kuning nan kuno. Doyoung segera menghindari tempatnya berdiri sekarang, sekaligus menghindari kursi roda milik Junghwan yang akhirnya terbanting menabrak jendela kaca, menciptakan sebuah lubang yang jelas muat untuk mereka.

  Junghwan menarik rambut Yoshi, teman baru itu rupanya berada di atas platfon. Dan pintu rubanah berhasil dibuka oleh Jihoon—membuat Doyoung jatuh ke dalam rubanah, sedangkan Yoshi sedang meraung-raung ketakutan sekaligus menahan sakit saat rambutnya ditarik ke atas. Bahkan kedu kakinya tidak lagi berpijak di lantai kayu, meskipun berusaha tenang tetap saja rasa takut Yoshi lebih besar. Yoshi jadi geram dengan ulah Junghwan, anak itu berusaha melepaskan tangan Junghwan dari rambutnya namun, tenaga Junghwan lebih besar—ditambah badannya yang besar.

  Pintu rubanah ditutup dengan keras, membuat mata Yoshi tertuju ke bawah kakinya. Rungunya mendengar suara berisik seperti parang yang berdenting, hal itu tentu saja membuat Yoshi teringat Doyoung. Yoshi menelan ludahnya yang hambar, kedua tanganya berusaha menghentikan aktivitas Junghwan dengan memukul hingga mencubit, namun, ada kesempatan emas saat dirinya menyadari salah satu jari Junghwan menempel tepat di bibirnya. Yoshi membuka mulutnya, dan memasukkan jari itu ke dalam mulut lalu menggigitnya dengan kuat. Membuat Junghwan meraung kesakitan, Yoshi bisa merasakan cairan hangat nan terasa manis dan asin memenuhi mulutnya. Yoshi segera mengeluarkan jari itu dari dalam mulutnya—bahkan ia tidak mengira kalau jari Junghwan harus putus di dalam mulutnya. Ternyata giginya sangat tajam, pikirnya.

  Ia jatuh terduduk saat dilepas Junghwan, namun pintu rubanah ditutup rapat oleh seseorang. Sekarang hanya perasaan kalut yang membara dalam diri, bahkan jantungnya seakan berenti berdetak saat rungunya tak lagi mendengar suara dari dalam rubanah kecuali denting besi itu. Atensi Yoshi berpindah ke arah jari Junghwan yang  tergeletak di lantai, menatap jari putus bersimbah darah seperti itu cukup mengerikan, apalagi saat seekor lalat mendarat tepat di atas kuku.

Yoshi segera berdiri dan melompat-lompat di atas pintu rubanah, usahanya tidak berhasil sama sekali untuk mengeluarkan Doyoung dan Xave dari rubanah itu. Jari Junghwan yang putus bergerak, lukanya tiba-tiba mengering, mata Yoshi melihat dengan jelas saat jari itu tiba-tiba melahirkan kepala, tangan dan kaki yang tumbuh, jika kau tahu lintah, seperti itulah jari itu bekerja.

Jari itu melompat di depan kaki Junghwan dan berdiri di atas bahunya. Mata hitam Junghwan tidak memperlihatkan kedamaian, bibirnya yang kering dan pecah mengembangkan seulas senyum tak bermakna.

"Kamu tidak bisa melukai ku." Ujarnya di akhir senyuman.

  Yoshi tidak banyak berpikir kecuali melompat dari lantai dua panti lewat lubang hasil benturan kursi roda, tidak lagi untuk sementara memikirkan Doyoung dan Xave di bawah sana. Yoshi jatuh terduduk di atas rumput sambil menahan kakinya yang sakit, mendongak ke atas sebentar, menatap wajah kebencian Junghwan yang semakin tampak. Dan, Yoshi berlari sejauh mungkin.

  Junghwan menghentakkan satu kakinya, dan pintu rubanah terbuka—menjatuhkan tubuh besarnya sekaligus. Mata Doyoung spontan menuju arah suara, tangan Doyoung dan Xave sama-sama bergetar dan kotor oleh cairan kental yang merah kehitaman, baru saja bertahan hidup dari ganguan Jihoon yang tidak bisa dibatasi sedikit pun.

Doyoung menelan ludah, ia membungkuk mengambil pecahan cermin. Memegang benda itu dengan erat dan mengabaikan telapak tangannya yang terluka. Bibirnya yang pucat membuatnya terlihat tak berdaya, bahkan matanya yang gugup saat Junghwan melangkah maju ke arahnya. Xave menusuk mata Junghwan secara spontan saat anak itu mendekat satu langkah ke depan, namun pergerakan Xave yang gegabah menghasilkan kesialan.

  Tangan Junghwan sudah mencekik erat leher Xave, suara napasnya yang kesulitan terdengar jelas di telinga Doyoung. Kaki Xave mulai melemas, di situ lah Doyoung tidak memiliki pilihan lain. Ia menusuk dada Junghwan sedalam-dalamnya lalu menarik pecahan cermin di tangannya ke bawah, berhasil merobek kulit Junghwan hingga ke perut. Xave dilepas begitu saja, dan Doyoung mengalihkan perhatiannya pada temannya itu. Doyoung bahkan tidak peduli jika Xave sedang lemas karena kehabisan napas, ia memaksa teman barunya itu untuk segera berdiri dan keluar dari rubanah mumpung masih terbuka.

  Tidak ada pilihan, Doyoung memegang kaki Xave dan menyeret anak itu menuju tangga kayu. Susah payah dirinya menarik Xave dengan tenaga yang tak terbilang besar, sekarang, kaki Doyoung sudah menapak di atas undakan naik tangga, namun langkahnya harus berhenti saat seseorang yang kurus dan menyedihkan berdiri tanpa tumpuan kaki, Tzaen berdiri terbalik, kepalanya berada di bawah dan kakinya di atas. Matanya menatap ke arah Doyoung tanpa berkedip, Tzaen menjulurkan lidah merah.

"Kau harus kembali ke keluarga mu Doyoung! Jangan mengkhianati mereka dengan penolakan seperti ini. Atau, " Tzaen memiringkan kepalanya ke kiri dan kanan, lalu dalam sekejap mata sudah dalam posisi merangkak, berlangsung begitu cepat rasanya saat Tzaen menatap Doyoung dam Xave.

Anak itu memegangi lehernya, rasanya Doyoung tidak bisa berkedip saat perlahan-lahan kepala Tzaen di lepaskan dari leher, darah mengalir membasahi bagian lehernya yang robek. Doyoung dan Xave terkejut bersamaan saat badan Tzaen ambruk di tangga tanpa kepala, darahnya membanjiri tangga dengan bau amis yang membuatnya mual. Xave tidak bisa menyembunyikan rasa takutnya begitu pun Doyoung yang sudah pucat setengah mati.

Suara rakus seperti seseorang yang menikmati ramen hangat terdengar begitu nyaring, Xave dan Doyoung saling tatap lalu memberanikan diri menoleh ke belakang. Doyoung menelan ludahnya, berusaha bersiap atas apapun yang akan dilihatnya nanti. Tepat saat matanya ke arah berlawanan dengan badanya,  Doyoung benar-benar melihat kepala Tzaen bertaring panjang, berbulu pendek seperti bulu babi hutan, hidungnya tampak menghirup aroma dari darah Jihoon, sedangkan mulutnya sibuk mengunyah setiap helai usus yang ia hisap dipaksakan keluar dari perut Jihoon.

Mata Doyoung berair, dan Xave semakin gemetaran. Mata Doyoung semakin tajam menatap kepala Tzaen, makhluk aneh itu menyeruduk dengan taringnya tepat menusuk kerongkongan Jihoon—membuat Xave mengigit bibirnya seolah menahan sakit yang dirasakan Jihoon.

Doyoung memegang erat tangan Xave, dan segera berbalik berniat segera meninggalkan rubanah. Namun baru saja empat langkah melewati anak tangga, kepala Jihoon tiba-tiba sudah mendarat di depan kaki mereka, kepala Jihoon benar-benar diputus oleh Tzaen. Xave mengangguk, meminta Doyoung untuk tetap memegang tanganya dan melanjutkan langkah. Kepala Jihoon meloncat-loncat di tempat, dahinya bertanduk rusa dan giginya itu juga bertaring seperti babi hutan.

"Atau ku buat kau menyerah dengan cara ku. "  Badan Tzaen tanpa kepala tiba-tiba bergerak, seolah menoleh ke arahnya.



THE-CURSED

THE-CURSED |  DOYOUNG & YOSHITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang