Ch 14

148 17 0
                                    

  Doyoung berdiri getir dengan tubuh kaku tak dapat begerak sedikit pun, matanya berair melihat kedua tangan Xave yang gemeteran menahan kepala Jihoon itu, dia menatap wajah Doyoung begitu lama, lalu mengangguk yakin dengan wajah masam yang kentara bercampur air mata. Berusaha menggeleng dengan suara tercekat bukanlah cara terbaik untuk membantah keputusan Xave namun Doyoung, tidak memiliki cara untuk melepaskan diri dari magnet besar Tzaen—dirinya benar-benar tidak bisa bergerak.

  Kepala Jihoon lepas landas, makhluk aneh itu menyerang Xave diimbangi teriakan keras yang pilu dan menyayat, melihat Xave mati dikunyah habis dan diseruduk kepala Jihoon benar-benar hal menyakitkan, Doyoung terduduk lemas. Ia menatap wajah Xave yang lambat laun memucat dengan mulut terbuka, sedangkan makhluk aneh yang lahir dari kepala, bagian tubuh manusia yang terpisah lalu berevolusi menjadi makhluk tak masuk akal.

 Mata Doyoung sepertinya tak berkedip apalagi saat lalat mulai mengerumuni jasad Xave. Doyoung mendongakkan kepalanya ke atas, tepat pada bangkai-bangkai binatang yang bergelantungan, bau busuk di rubanah sudah bercampur menjadi satu dengan darah segar yang membanjiri lantai. Mata Doyoung berkedip, membiarkan tetesan terakhir air matanya jatuh. Saat itu pula, Doyoung menyadari bahwa tidak ada siapapun lagi di rubanah ini kecuali dirinya sendirian, bersama dua mayat yang akan membusuk. Matanya menatap setiap sudut ruangan, mencari keberadaan Tzaen yang menghilang tanpa jejak. Dan, Doyoung tidak sedikitpun kagum atas pergerakan Tzaen.

 Doyoung berdiri, namun seketika ia kembali lumpuh. Satu kakinya, tidak lagi normal, sama seperti kali pertama ia melangkah ke panti asuhan ini. Doyoung menatap kakinya, ia menelan saliva. Tapi perhatiannya tiba-tiba teralihkan, darah segar kehitaman yang menggenang di lantai larut tepat menyentuh kaki patah Doyoung, sensasi hangat dari benda cair itu bisa dirasakan olehnya. Ada mikroorganisme yang bergerak di dalam genangan darah, mata Doyoung menyipit berusaha menangkap benda yang sangatlah kecil mengeliat di sana. Seperti semut, ah tidak makhluk itu dua kali lebih kecil dari semut dan Doyoung bahkan tidak habis pikir matanya bisa melihat makhluk sekecil itu.

 Doyoung bergerak pelan, menggeser dan mengangkat pantatnya dengan tumpuan kedua tangan, semakin lama dibiarkan olehnya, darah itu kian mengalir seperti mengikuti arah gerak dirinya. Doyoung menelan ludah lalu kembali menggeserkan pantatnya menjauhi genangan darah, namun hal yang sama masih terjadi. Tiba-tiba jari tangan Doyoung terasa mengeras, bahkan tubuhnya melemah, Doyoung sendiri tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi, mata Doyoung seakan tak dapat teralihkan ke arah manapun kecuali, ke arah darah yang seolah mengikuti dirinya. Bisikan-bisikan itu kembali terdengar, memekak seperti menghancurkan penedengaran Doyoung. 

 Mata Doyoung tak dapat berkedip, saat mikroorganisme yang berada dalam genangan darah dilihat Doyoung naik ke udara bersama darah itu, membentuk tubuh manusia namun tetap cair tak padat seperti manusia pada umumnya. Doyoung menutup mulutnya begitu rapat, kepalanya menggeleng beberapa kali, suaranya tercekat, yang ada di pikirannya sekarang adalah makhluk apa itu? Jari-jari tangan Doyoung ditarik ke atas dengan arah terbalik, rasanya jarinya akan patah dalam hitungan detik. Panggilan itu kini tak lagi berupa bisikan yang memekakkan telinga, namun suara bergetar yang nyaring dan jelas sekali, darah yang melayang ke udara tiba hancur dan pecah berhamburan di lantai. Bahkan cipratan darah mengotori pakaian Doyoung, tangannya tak lagi mengeras tubuhnya pun tak lagi lemah, namun berubah menjadi rasa merinding yang berbeda, Doyoung menoleh ke belakang saat suara pintu rubanah terbuka diikuti langkah kaki yang bergelatuk seperti memukul tangga kayu.

  Doyoung menelan ludah, ia terhenyak di tempat tanpa bisa bertindak, lantunan lagu yang keluar dari mulut seseorang terdengar bergaung, diikuti ketukan dari sepatunya yang menjadi jeda dari setiap bait lirik lagunya. Dada Doyoung terasa meledak, seluruh tubuhnya panas dingin.

 " Di dalam, yang sunyi, kutemukan, kau di sini." Doyoung yang menunduk menatap sepasang kaki pucat yang menggunakan terompah atau sendal selop yang terbuat dari kayu akasia, bau busuk pun ikut melengkapi kehadiran seseorang.

 Doyoung menelan ludahnya, gemetaran sekali dirinya saat meyakinkan hatinya untuk menatap perempuan yang berdiri di hadapannya. Pelan-pelan sekali Doyoung mendongakkan kepalanya, saat matanya tertuju ke atas, tubuh Doyoung rasanya kaku, saat wajah keriput Mama yang kering dan tampak pecah itu hampir mengelupas dan jatuh ke lantai, bibirnya tersenyum lebar dengan bibir yang sangat kering dan pecah, matanya menyorot tajam ke arah Doyoung yang ketakutan, darah hitam menetes dari mulutnya dan jatuh tepat di kaki Doyoung. Panas yang menyengat membuat kulit kaki Doyoung terbakar, bahkan asap tipis terlihat seperti sate di atas bara.

"Selamat datng kembali," Senyuman Mama semakin lebar dan sejurus kemudian senyum itu digantikan wajah datar nan galak, Mama kembali membuka mulutnya, memperlihatkan giginya yang runcing dan kuning.

  Mama mendekatkan wajahnya tepat berjarak tiga sentimeter, bau anyir dan busuk menjadi satu saat Doyoung merasakan udara yang keluar dari mulut Mama, wanita berusia lanjut itu berkata, "Cucu Nenek tercinta."

Besi panjang menembus mata hingga ke belakang kepalanya. Doyoung menghembuskan napasnya saat dirinya merasakan darah mencirit jatuh ke wajahnya, anak itu melepaskan besi panjang yang ditusukkan olehnya pada mata Mama. Ia segera beringsut menyeret kakinya yang kembali pincang, beberapa langkah berhasil namun Mama melangkah bungkuk seperti menertawakan cara Doyoung menyelamatkan diri, bahunya bergetar hingga tertawa kecil seperti tak berjeda. Kemudian Mama menginjak punggung Doyoung dengan sepatu terompah kayunya yang pasti menyakitkan, membuat Doyoung terdorong ke bawah mencium lantai kotor dan bau darah.

Mama kembali menginjak punggung Doyoung begitu kuat, membuatnya sulit bernafas lantaran sakitnya tak tertahankan. Cekikan tawa Mama kembali terdengar, kakinya tidak lagi menempel di atas punggung Doyoung. Tapi, berdiri di depan pintu menunggu Doyoung berhasil beringsut sampai ke sana. Saat Mama berdiri di sana, Mama mencabut kayu yang menembus mata hingga ke kepalanya itu, lalu menjatuhkan kayunya di anak tangga. Doyoung merinding, saat kepalanya memanjang seperti ular menyapa dedaunan, kepalanya bergerak lurus dan berkelok-kelok lalu berhenti di depan mata Doyoung.

"Ayo sayang, lanjutkan langkahmu, Mama tunggu di depan pintu. " Senyumannya terkembang namun seringai buas dan liciknya tak bisa membodohi Doyoung.

Makhluk yang ia kenal sebagai Mama di panti ini, kembali memendekkan kepalanya dan melangkah seperti manusia normal sambil membunyikan langkah terompahnya. Mata Doyoung mengikuti saja dan menebak apa yang akan dilakukannya, Mama terlihat membungkuk di depan mayat Xave lalu tangannya mengorek-ngorek darah yang sedikit kering di pipi dam sekitar mata Xave. Mama tersenyum, lalu jari tangan kirinya mencongkel matanya sendiri yang rusak karena serangan Doyoung, sedangkan jari telunjuk berkuku panjang dan runcing itu sedang mencongkel mata Xave, sepertinya Mama ingin menukar matanya.



°•°•

THE-CURSED

THE-CURSED |  DOYOUNG & YOSHITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang