Chapter 6

1 0 0
                                    

Ana menghela nafas panjang berusaha mengurangi rasa sakit aneh disekujur tubuhnya. Ia kembali mengingat kejadian dimana Liam memutuskannya.

Bisa-bisanya Liam meninggalkan Ana, padahal Ana merasa dirinya sudah sangat berusaha mempertahankan hubungannya  selama ini, walaupun Liam kerap kali menyakitinya.

Tiba-tiba Ana teringat akan Widia. Ana pernah mendengar dari Tika sahabatnya bahwa Liam dulu mencintai Widia.

Apa gara-gara Widia dia memutuskan Ana? Memang sejak dulu Ana merasakan perhatian Liam pada Widia ada yang beda. Walaupun Liam selalu mengatakan perhatiannya itu tidak lebih dari hanya sekedar sahabat.

Mustahil, salah satu dari mereka tidak mempunyai perasaan. Apalagi, mereka sering tertangkap oleh penglihatan Ana, sedang berduaan.

Orang bilang, Cinta pertama seorang anak perempuan, adalah ayahnya. Rasanya kali ini Ana merindukan papa nya. Tapi sayangnya, ayahnya sudah sudah lebih dulu meninggalkan Ana dan ibunya Ross. Ana teringat dengan tempat favoritnya saat kecil, dimana ayahnya sering mengajak Ana jalan-jalan dengan menaiki kereta.

Kebetulan, lokasi Ana saat ini sangat dekat dengan stasiun. Ana benar-benar merindukan ayahnya. Ana berharap  dengan pergi ke stasiun bisa sedikit mengurangi kerinduan.

Terlihat jalanan yang ramai. Serta suara knalpot motor yang memekakkan telinga dan mobil-mobil yang berebut duluan.

Tak butuh waktu lama, Ana sudah sampai di stasiun yang sudah ramai penumpang walau dengan langkah yang sangat berat.

Ana duduk menghampar dan bersandar disalah satu tiang. .

Katanya, tuhan tidak akan memberikan cobaan di luar batas kemampuannya. Lalu ana, ia merasa Tuhan terlalu berlebihan menguji Ana.

Kejadian dimana saat Ana mengetahui ibunya Ros mengidap kanker darah pun masih tidak bisa Ana lupakan. Lalu sekarang disaat Ana pikir Liam bisa menjadi sosok pereda malah semakin menambah rasa sakitnya dengan memutuskan hubungannya dengan Ana.

Kali ini Ana tidak bisa lagi menahan diri agar ia tidak menangis. Air matanya mengalir begitu saja.
Didepan Ana suara gemuruh kereta membuat telinga Ana pengang. 

Sekelebat memori kebersamaan Ana, dan ayahnya muncul.

Flashback on

"Pa, Ana mau beli balon itu!"

"Sebentar yah sayang, papa lagi telpon Om."

"Papa lama!"

Ana, gadis berusia 6 tahun itu merengek meminta papanya Arlan membeli balon yang ada di seberang jalan.
Karena merasa papanya lama, gadis itu berlari menyebrang jalan.
Dari arah depan mobil melaju dengan cepat kearah Ana.

"Ana!"

"Papaaa..."

Arlan yang melihat putrinya langsung secepat kilat mendorong tubuh putrinya. Ana berhasil selamat dari mobil yang menabraknya. Tapi sayang, Arlan sudah jatuh terkapar dengan darah mengalir di kepalanya.

Tragedi itu membuat Ana kehilangan ayahnya selamanya.

Flashback off.

Suara gemuruh kereta semakin dekat. Ana merasa semakin dekat pula dengan Papanya.
Ana berjalan dua langkah kedepan, Memejamkan mata.

Ana merasa Masalah itu akan hilang, kalau Ana sendiri menghilang dan Ana akan segera bertemu dengan ayahnya. Ana menghela napas panjang berkali-kali saat gemuruh kereta itu semakin dekat. menyambutnya seperti rindu yang menggebu. berharap ada kehidupan yang lebih baik disana.

"Hei!"

Sesuatu menyambar tubuh Ana. Ana tersentak terasa seperti melayang. Ana membayangkan rantai besi itu melindas tubuhnya hingga menjadi serpihan-serpihan.

Ana enggan membuka mata, tak ingin melihat tubuhnya yang hancur di tabrak kereta.
Rasa sakit mulai terasa di tubuh Ana, semakin lama semakin menjalar.

Ana berpikir, Apakah ia sudah mati? Tapi bukannya setelah mati rasa sakit itu akan hilang?

Lembar Terakhir Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang