chapter 9

1 0 0
                                    

Ana melangkahkan kakinya dengan gusar di koridor. Penampilan Ana kali ini menarik banyak perhatian siswa yang memandangnya kaget. Ana kembali menjadi Ana si gadis berkacamata besar.

Ana tidak menanggapi bisikan-bisikan yang membicarakannya. Ana hanya bersikap cuek, dan dingin.

Matanya menatap Liam yang kini tengah yang sedang duduk berdua bersama Ana.
Bisa-bisanya Liam menampakkan diri setelah kejadian kemarin.

Tatapannya bertemu dengan jarak yang agak jauh. Dengan cepat Ana membuang wajahnya ke tempat yang lain.

Melihat Liam membuatnya emosi, dan merusak pagi hari Ana.

Saat Ia mau sampai ke kelasnya, sebuah tangan mencegatnya yang sedang berjalan. Tika dan Rani dibelakangnya melihat tajam kearah Ana.

"Apa yang lo lakuin Na?"

"Kenapa penampilan lo jadi kayak dulu lagi."

Tika melontarkan pertanyaan melihat penampilan Ana yang berubah seperti dulu pertama kali Tika mengenali.

"Bukannya lo yang bilang Tik, lo kangen gue yang dulu kan?"

"Tapi gak gini juga Ana."

"Gue cuma mau jadi diri gue sendiri Tik." Ana menggenggam tangan Tika kemudian tersenyum kecil.

"Oke, oke guys ... Cukup drama nya." ucap Rani tiba-tiba.

"Ana! Tadi gue liat lo dianter sama cow-" ucap Rani dengan suara cemprengnya yang tertahan karena Ana membekap mulut Rani langsung.

"Suttttt! lo bisa gak sih, pelan-pelan ngomongnya njir."

"Abis gue penasaran Na, hehe" ucap Rani menyeringai lebar.

"Liam Na?" tanya Tika.

"Bukan."

"Terus, siapa?" tanya kembali Tika.

"Ayok, masuk. Gue mau minta tolong sesuatu!"

Ana menarik tangan kedua sahabatnya lantas memasuki kelas.

Ana dan kedua sahabatnya duduk di bangku kelas. Kedua sahabatnya tengah menatap Ana serius.

"Jadi, lo mau minta tolong apa?"

"Gue, mau nikah."

"Hah! Nikah!" teriak kedua sahabatnya bersamaan.
Ana langsung memukul sedikit paha kedua sahabatnya.

"Lo berdua bisa gak sih, gausah sekaget itu."

"Kenapa lo nikah Na??"

"Lo gak bercanda kan na??"

"Gimana sama Liam pacar lo??"

"Kok lo gak cerita sama kita."

Kedua temannya rusuh dan sibuk melontarkan banyak pertanyaan.

"Ya ampun, sabar dong. Udah kayak wartawan aja lo berdua." jawab Ana santai.

"Gue dijodohin sama Mama. Gue juga gatau latar belakang cowok yang dijodohin Mama."

"Serius lo, Na? Hari gini masih jaman jodoh jodohin?"

"Gue serius. Belum lama ini, Mama gue sakit. Mama gue mengidap kanker darah." ujar Ana.

"Astaga, kenapa selama ini lo gak cerita Na. Gue merasa gagal sebagai sahabat lo Na." ucap Tika.

"Soal Liam, gue udah putus sama dia." ujar Ana santai.

"Pu-putus? Kenapa?" ucap Tika terkejut.

"Iya Na, lo dapet hidayah yah? lo udah sadar kan kalo Liam cowok yang gak baik buat lo." timpal Rani.

"Dia mutusin gue, dengan alasan katanya gue sama dia udah gak sejalan lagi."

"Ohhh..." ucap kedua sahabatnya bersamaan.

"Gue seneng lo putus sama Liam Na." ucap Tika.

"Gue juga Na, itu artinya mungkin lo harus nikah sama pilihan ibu lo."

"Hmm... Bener tuh gue setuju."

"Kok, kalian malah setuju sih! Gue cerita ke kalian supaya kalian mau bantu biar gue gagal nikah sama tuh cowok."

"Hehe Na, kalau soal itu, gue gabisa bantu." Rani menyeringai lebar dan lengan nya menyenggol tangan Tika dengan mengedipkan matanya.

"Iya kan ,Tik?"

"Iii- iya nih Na. Tapi gue yakin orang tua lo itu mau yang terbaik buat lo."

"Nah, betul tuh Na. Oh iya jangan lupa, kalau pas malam pertama, bagi link yah!" ucap Rani menyambar.

"Kampret lo Ran. Terserah, kalian berdua bikin gue bete!" Ana melipat kedua tangannya diatas meja dengan kepala yang tertunduk.

Lembar Terakhir Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang