Tok! Tok! Tok!
Pintu kamar Isya digedor keras berulang kali. Sang pelaku seolah tidak ingin berhenti sebelum mendengar sahutan dari dalam kamar. Kalau bisa, dia ingin Isya keluar kamar sekalian. Baru dia akan berhenti menggedor pintu.Gedoran itu benar-benar berhasil membangunkan Isya sekaligus membuatnya jengkel. Dia mengerang di antara gulungan selimut. Matanya masih terasa lengket. Dia masih ingin tidur andai pengganggu itu berhenti menggedor pintunya.
Tidak hanya membuatnya bangun, gedoran pintu itu juga membuatnya terkejut hingga jantungnya berdegup cepat. Kepalanya kini terasa pusing karena terbangun dengan paksa.
Demi apa pun kekesalan Isya berada di level tertinggi sekarang. Dia paling tidak suka tidurnya diganggu, tapi orang itu seolah sengaja mengganggunya hingga tidak menghentikan gedorannya sejak beberapa menit yang lalu. Isya yakin tangan orang itu pasti sudah memerah sekarang.
“Siapa pun itu, please berhenti gedor pintu! Aku mau tidur!” teriak Isya masih dengan memejamkan mata. Matanya masih enggan untuk dibuka.
Lagi pula, ini masih subuh. Kalau pun Mama yang membangunkannya, bukankah ini masih terlalu awal? Bahkan salat subuh saja masih belum dimulai karena azan baru terdengar.
“Isya, bangun! Salat subuh! Kalau nggak bangun, Papa nggak akan berhenti gedor pintu kamu!” balas Adhi--papa Isya--dengan berteriak juga.
“Iya-iya, Isya nanti bakal bangun. Papa nggak perlu gedor-gedor pintu lagi.”
Iyain saja biar cepat. Setelah papanya menyingkir dari depan pintu, Isya akan tidur lagi.
“Nggak. Papa nggak akan berhenti gedor pintu sebelum kamu bangun dan buka pintu kamar kamu biar Papa tahu kalau kamu udah benar-benar bangun.” Adhi kembali menggedor pintu walau Isya sudah merespons kelakuannya.
“Isya masih ngantuk, Pa,” rengek Isya kesal sekaligus frustasi.
“Kamu boleh lanjut tidur setelah salat subuh.”
Isya mendengus kesal lalu beringsut bangun dengan sangat terpaksa. Tidak ada pilihan lain, dia harus bangun kalau tidak ingin papa terus menggedor pintunya.
“Aku udah bangun,” ucap Isya setelah membuka pintu kamarnya. Bibirnya cemberut, sedangkan matanya menyipit menatap Adhi yang sedang berdiri di depannya.
“Cepat ambil wudu terus salat,” perintah Adhi tegas.
“Iya. Papa bisa pergi sekarang.”
“Nggak. Papa akan tetap di depan kamar kamu sampai kamu selesai salat, jadi nggak usah ditutup pintunya.”
“Astaga,” erang Isya dengan mengacak rambutnya.
Entah kenapa papanya semakin menyebalkan akhir-akhir ini.
Tanpa menutup pintu, Isya berbalik menuju kamar mandi. Dia benar-benar mengambil wudu seperti perintah papanya demi bisa tidur lagi.
Setelah mengambil wudu, dia beralih mengambil mukenanya yang terlipat rapi dalam lemari. Hanya beberapa kali dalam setahun Isya menggunakannya. Seringnya dia menggunakannya saat bulan ramadhan karena setiap malam papanya pasti akan mengajaknya tarawih berjamaah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dari Ashar, Untuk Isya
Dla nastolatkówBermula dari tasbih Ashar yang jatuh dan ditemukan oleh Isya, takdir mempertemukan mereka kembali dengan Ashar yang menjadi guru PPL di sekolah Isya. Tanpa Isya sadari, karena jasanya, Ashar menaruh perhatian lebih padanya. Isya dan dunianya yang be...