Isya memakai seragam dengan santai ditemani iringan lagu dari playlist musiknya. Sesekali dia bergoyang dan menyanyi menirukan nyanyian sang penyanyi.
Isya bisa bersiap-siap sesantai ini karena pagi ini dia tidak bangun kesiangan. Bahkan dia bangun subuh.
Tidak ada yang akan menyangka hal itu—kecuali orang tuanya—kalau Isya benar-benar bangun untuk melaksanakan kewajibannya sebagai seorang muslim walau tentu saja atas paksaan papa. Kata papa, harus dipaksa dulu agar nanti bisa terbiasa.
Sekarang Isya menunggu saat-saat itu, saat di mana dia akan terbiasa menjalankan kewajibannya agar tidak menganggap kewajiban itu sebagai beban.
Walau selama ini Isya susah melaksanakannya, tapi dia juga tidak menolak fakta kalau salat memang sebuah kewajiban untuknya dan seluruh umat muslim di dunia.
Hanya saja dia memang belum siap bertobat sekarang karena dia ingin saat dirinya bertobat nanti, dia benar-benar bertobat. Tidak hanya melaksanakan salat, tapi juga melaksanakan ibadah lainnya sesuai ajaran agama Islam.
Dan, sekarang Isya masih ingin bersenang-senang menikmati kebebasannya tanpa memikirkan kewajibannya karena berpikir dirinya masih muda. Masih banyak waktu untuknya bertobat nanti.
Namun, paksaan papa membuatnya mau tidak mau membiasakan diri melaksanakan kewajibannya mulai dari sekarang.
Sudah hampir seminggu dia mulai menjalankan salat walau belum genap lima waktu. Yang pasti dia selalu salat subuh. Karena seperti hari-hari sebelumnya, papa punya hobi baru sekarang, yaitu menggedor pintu kamar Isya setiap subuh.
Bagaimana Isya bisa tidur nyenyak kalau begitu ceritanya. Alhasil dia memilih menuruti perintah papa dengan melaksanakan salat subuh.
Tidak hanya salat subuh, Isya juga melaksanakan salat asar, magrib, dan isya karena saat itu dia berada dalam pengawasan orang tuanya.
Hanya saat zuhur saja dia masih bolong karena di saat itu dia lebih memilih ke kantin. Alasan lain, karena tidak ada orang tuanya yang mengawasinya.
Isya bahkan lupa kalau ada Allah yang selalu mengawasinya setiap saat dan lebih intens dari orang tuanya.
Selesai bersiap-siap, Isya turun ke bawah untuk berpamitan pada kedua orang tuanya. Namun, saat sudah sampai meja makan, yang dia temui hanya mamanya saja.
“Papa ke mana, Ma?” tanya Isya karena tadi subuh papa masih ada, bahkan masih sempat menggedor kamarnya.
“Papa berangkat lebih pagi hari ini. Katanya, mau mampir ke rumah nenek sebelum ke kantor,” jawab mama.
“Ada apa?”
Mama mengangkat bahu. Dia sendiri juga tidak tahu karena suaminya hanya bilang jika sedang ingin bertemu ibunya. Mungkin sedang rindu.
“Kalau gitu aku berangkat juga deh, Ma.” Isya mencium tangan mamanya.
“Nggak sarapan dulu?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Dari Ashar, Untuk Isya
Fiksi RemajaBermula dari tasbih Ashar yang jatuh dan ditemukan oleh Isya, takdir mempertemukan mereka kembali dengan Ashar yang menjadi guru PPL di sekolah Isya. Tanpa Isya sadari, karena jasanya, Ashar menaruh perhatian lebih padanya. Isya dan dunianya yang be...