(12) • All Day Together

6.3K 1.1K 1.1K
                                    

Tania tersenyum penuh haru melihat pemandangan didepannya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tania tersenyum penuh haru melihat pemandangan didepannya. Kedua orang yang sangat berarti baginya itu nampak terlihat tengah menikmati waktu bersama dengan bermain bola basket. Alex, dinyatakan sudah sembuh oleh Dokter pribadi yang merawat pria itu selama satu minggu penuh ini. Dan, pria itu juga mengambil cuti untuk beberapa hari ini, untuk beristirahat dari padatnya dunia kerjanya. Tania tidak mempermasalahkan itu. Selagi itu demi kebaikan, ia akan membiarkannya.

Namun, Tania tidak menduga, kalau waktu istirahat Alex hanya dihabiskan bermain dengan Ziel. Entah itu bermain basket, game, berenang bersama, dan masih banyak hal lain yang mampu membuat ia selalu tersenyum saat melihatnya. Perkembangan, kakinya juga semakin membaik. Saat ini, sebenarnya ia bisa menggunakan kruk, namun melihat keadaan rumahnya yang sangat luas, itu hanya akan membuatnya kelelahan.

Ia hanya menggunakan sesekali, seperti saran Dokter. Jika tidak kuat, jangan terlalu dipaksakan. Itu kata Alex. Namun, karena tepatnya untuk sembuh sangat besar, ia hanya menurut saja. Tapi ia meminta agar jadwal terapinya, diadakan setiap hari. Tapi, dua orang yang sangat berlebihan--Alex dan Ziel menolak hal itu, sabtu dan minggu setidaknya Tania harus istirahat. Tania tidak menolak. Ia memaklumi itu.

Sore ini, Tania baru saja selesai terapi, karena terlalu lelah, ia lebih memilih menggunakan kursi roda. Saat ia ingin pergi ke taman, matanya menangkap pemandangan yang sangat menyenangkan baginya.

Alex dan Ziel.

"Capek!" Itu keluhan dari Dev.

Sedangkan, Alex sendiri terlihat biasa saja. Bahkan, pria itu terus mencoba memasukkan bola basket ke dalam ring berkali-kali. Dan semuanya berhasil.

"Daddy pernah ikut les basket?" Tanya Dev. Ia mulai duduk bersila di tengah lapangan sembari memperhatikan ayahnya.

"Nggak."

"Kok bisa pintar?"

"Takdir,"

Dev memutar bola matanya malas. "Si paling takdir!" Ia sudah tidak asing dengan kata itu. Karena, ayahnya terlalu sering mengucapkannya.

"Kamu juga pintar," Kata Alex tiba-tiba. Ia berbalik, lalu menatap Dev. Ia berjalan mendekati anak itu, dan berdiri menjulang didepan Dev yang masih duduk bersila.

Dev mendongak. "Pintar berbohong?"

"Benar. Berbohong meminjam kartu ATM dengan alasan punyamu hilang. Pergi ke Paris hanya untuk makan Pizza? Pulang-pulang membawa sepatu seharga mobil." Alex terdengar seperti mengomel, namun dengan nada sarkas dan tanpa ekspresi.

Cowok yang mengenakan celana pendek senada dengan kaosnya yang berwarna hitam itu meringis sembari menggaruk tengkuknya yang tidak gatal sama sekali. "Itu Gasta. Aku cuma ikut-ikut,"

Alex menghela napas lelah. Ia tidak tau, putranya ini mendapatkan gen boros darimana. Seingatnya ia dulu tidak terlalu suka membeli banyak barang. Ia lebih suka menyuruh orang untuk membuatkannya untuknya seorang. Karena, ia tidak suka mengenakan barang yang sama seperti banyak orang. Dan juga, ada beberapa brand terkenal yang suka rela membuatkannya sesuatu entah itu benda yang bisa ia gunakan atau pakaian yang ia kenakan khusus untuknya.

DavenzielTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang