2 - Lalai

76 6 0
                                    

Seisi kantin menatap Rossa prihatin. Rambutnya yang di kepang sedikit berantakan, seragamnya pun sedikit basah dan kotor dengan lengan yang memerah. Siapapun yang melihatnya sudah bisa menebak jika cewek itu pasti habis di bully.

Rossa berdiri mengantri di belakang barisan panjang para siswa-siswi yang tengah memesan berbagai macam camilan sambil berdesak-desakan.

Beberapa gerombolan cewek-cowok dengan seragam olahraga datang dan mendesak rusuh tidak mau mengantri, hingga membuat Rossa terdorong semakin jauh ke belakang.

"Heh, cupu! Minggir lo! Antri di belakang sana."

"Tau nih, nggak tau orang lagi haus apa."

Beberapa kakak kelasnya mendorong Rossa ke belakang. Lagi-lagi Rossa hanya diam dan mengalah, tak berniat melawan. Jika para antrian lainnya berteriak protes, berbeda dengan Rossa yang hanya bisa menghela nafas sabar, sudah biasa.

Tak lama kemudian, dua cewek dengan rambut di kepang sama seperti Rossa tapi tanpa kacamata, berjalan menghampiri Rossa dan ikut mengantri di sampingnya. Ririn dan Ella, mereka adalah teman-teman Rossa yang berada di kelas IPA 2.

Karena nasibnya yang sama, itulah yang membuat ketiganya menjadi dekat dan saling menguatkan. Rossa tersenyum saat keduanya menyapanya.

"Kok lo nggak nungguin kita, Ros?" tanya Ririn.

"Eh, kok-- lo habis di bully, ya? Aduh, Ros, makanya kalo mau kemana-mana itu jangan sendiri. Tungguin kita kek." Imbuh Ella begitu menyadari penampilan berantakan Rossa.

"Udah biasa, Aku nggakpapa kok."

Hampir satu jam Rossa mengantri, akhirnya pesanannya pun kini sudah berada di tangannya. Ia tersenyum menatap semangkuk baksonya. Hanya semangkuk, tapi ia rela mengantri lama.

Ketiga cewek berambut kepang itupun berjalan mencari bangku kosong untuk makan bersama.

Brugh! Prangg!

"Aws! Panas!" pekik Rossa saat kuah bakso panas mengenai seragam serta tangannya. Mangkuk baksonya pecah, membuat isinya tumpah kemana-mana.

Ririn dan Ella terkejut, kamudian dengan cepat mengambil tissue asal lalu membersihkan kuah panas yang mengenai sebagian tubuh Rossa.

"Sorry, gue buru-buru." Ucap cewek dengan rambut kuncir kuda yang cukup Rossa kenali.

Dania Aletta, teman sekelas Bara sekaligus Wakil Osis. Cewek itu tersenyum smirk sembari meninggalkan Rossa tanpa berniat membantunya.

Rossa hanya bisa menghela nafas sabar dan tetap tersenyum sambil menahan panas dan perih pada tubuhnya yang terkena kuah bakso.

Semua orang disini itu sama saja, banyak yang bersikap jahat dan banyak juga yang bersikap sok baik padanya padahal niatnya sama. Membully dan merendahkannya. Hanya Bara dan dua temannya inilah yang tulus mau dekat dengannya.

Rossa pamit kepada Ririn dan Ella untuk pergi ke toilet. Namun saat ia berbalik, dengan sengaja seseorang menjegal kakinya hingga membuatnya jatuh tersungkur. Rossa meringis merasakan perih pada lutunya yang menghantam lantai keramik dengan keras.

"Sorry, sengaja!"

Seluruh penghuni kantin bersorak menertawakannya. Rossa mendongak, menatap cewek berambut Blonde Ombre yang berdiri di depannya dengan tatapan angkuh. Linda Amelia, kakak kelasnya.

"Apa?! Mau lapor sama Bara? Gih sana, nggak takut gue!"

Rossa menunduk, memejamkan matanya dan mencoba bersabar, ini sudah biasa. Semua yang menyukai Bara, terang-terangan menunjukkan rasa tidak sukanya padanya.

Ia terkejut saat melihat Linda menginjak kacamatanya yang sempat terlepas dan berlalu begitu saja dengan kedua temannya tanpa merasa bersalah.

Sekali lagi, Rossa hanya bisa meratapi nasibnya yang tak pernah di hargai oleh semua orang. Segala kejahatan sudah sering ia alami dari orang di sekitarnya. Semua jenis kekerasan fisik sudah di rasakannya.

Bahkan yang paling parah, ia pernah sengaja di kunci di dalam toilet sampai sore menjelang malam karena tak ada yang tahu. Beruntungnya, Bara yang tengah mencarinya kemana-kemana karena ia tak ada kabar sama sekali sejak siang, akhirnya menemukannya.

Sejak itulah Bara semakin waspada dan selalu mengantarnya pulang sekolah agar ia aman.

Rossa memungut kacamatanya yang sudah pecah, air matanya menitik lagi. Detik selanjutnya, tiba-tiba saja seorang cowok membantunya berdiri. Rossa terdiam menatapnya.

"Lo nggakpapa?"

Dimas Apriliano, cowok ganteng dengan sorot mata teduh itu menatapnya prihatin. Rossa menggeleng dan segera berdiri.

"Ck, si Linda tuh emang bener-bener ya kelakuannya. Untung aja belum gue jadiin pacar, bisa abis gue tiap hari ribut sama dia." Sahut cowok yang berdiri di sebelah Dimas.

Rossa menatapnya penasaran. Daniel Imanuel, cowok ganteng dengan wajah sedikit imut yang terkenal playboy itu tengah tersenyum ke arahnya. Rossa balas tersenyum canggung.

"Ros, ayo gue anterin ke toilet dulu abis itu ke UKS?" ajak Ririn sudah tidak tega melihat Rossa yang sejak tadi terus-terusan di jadikan bahan bullyan.

Rossa mengangguk dan kemudian pamit pergi kepada Dimas setelah mengucapkan terimakasih. Dalam hati ia bersyukur, ternyata memang tidak semua manusia punya sikap buruk.

"Dahlah Dim, ngapain juga lo bantuin tuh cewek. Punya si Bara itu, bisa di gorok lu kalo ketahuan sok peduli sama tuh cewek." ujar salah satu cowok yang berdiri di belakang Daniel yang di sambut gelak tawa beberapa temannya.

"Paan sih lo semua, garing banget. Gaada yang lucu pada ketawa," ucap Daniel dengan sorot tak suka sambil berlalu meninggalkan teman-temannya.

"Woi Niel, tungguin kali!"

Dimas tersenyum samar sambil menggelengkan kepalanya heran. Semua orang memang hanya menganggap Rossa itu lelucon. Apa mereka tidak pernah berpikir jika suatu saat nanti tiba-tiba saja Rossa berubah dan membuat mereka semua menyesal?

Tak lama kemudian, Dimas berjalan menyusul teman-temannya yang sudah duduk bergerombol di pojok kantin. Sedikit aneh memang, ia bergaul dengan sekumpulan cowok-cowok badboy ini padahal dirinya itu anak rajin.

***

Bara berjalan cepat sembari menengok arlojinya berkali-kali. Sial, gara-gara di paksa makan siang bareng oleh anak Osis tadi ia harus kehilangan Rossa.

Gadis itu tiba-tiba mengiriminya pesan untuk membatalkan rencana pergi barengnya karna memilih pulang duluan. Alasannya sih banyak tugas, tapi Bara tahu jika cewek itu tengah menyembunyikan sesuatu.

Sekali lagi ia mencoba menghubungi Rossa, namun sayangnya semua panggilannya sejak tadi tidak di angkat. Kekhawatiran Bara semakin menjadi, rasa bersalah menyelimutinya.

Seharusnya tadi ia meluangkan waktu untuk Rossa walaupun sebentar, padahal rapat Osis sudah selesai sejak istirahat tadi.

Setelah cukup lama melaju untuk cepat sampai ke rumah Rossa, Bara bergegas cepat mengetuk pintu dan memanggil Rossa. Namun tak ada jawaban juga. Berulang kali Bara memanggilnya dan mengetuk pintunya keras, rumah itu tetap tampak sepi.

"ROSSA! Buka pintunya, Ros--"

"Loh, Nak Bara? Gak pulang bareng Rossa?" tanya seorang wanita paruh baya yang tiba-tiba muncul. Bara menoleh, Mira ternyata.

"Tadi Rossa pulang duluan, Tan. Kenapa dia gak mau buka pintu, ya?"

Mira mengernyit heran."Rossa belum pulang. Nih, liat, pintunya masih di kunci." Mira menunjukkan kunci rumahnya sembari mencoba membuka pintunya.

Seketika itu juga, Bara langsung berpamitan pada Mira dan langsung bergegas mencari Rossa. Dalam perjalanan ia berpikir keras, kemana kiranya cewek itu pergi sampai membohonginya.

Hingga akhirnya ia teringat pada satu tempat yang sering Rossa kunjungi setiap cewek itu ingin menyendiri. Dalam hatinya, ia terus berharap agar dugaannya tak salah.

"Maafin aku, Ros. Tunggu aku," Batinnya dengan raut penuh kecemasan.

***
Bantu share dongg
Vote+komennya juga dongg biar semangat:)

Call Me RossaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang