24. Sebuah Janji

284 41 38
                                    

"MAULANA Fajri! Ada apa? Fajri, hei!"

Fiki meraup surainya kasar. Melihat mata Fajri yang terpejam, keringat dingin, dan Fajri yang terus mengigau dalam pingsannya membuat Fiki gelisah. Beberapa kali ia mencoba untuk membangunkan Fajri.

Kini ia berada di rumah sakit, menunggui Fajri sadar. Sebenarnya, beberapa jam yang lalu, Fajri sempat bangun, tapi anak itu meracau ketakutan dan menangis, membuat Fiki panik dan terpaksa memanggil dokter. Dokter pun langsung bertindak dan menyuntikkan obat agar Fajri berangsur tenang.

Dan setelah kejadian tersebut, dokter memberitahu Fiki jika Fajri rentan terkena serangan panik, membuat Fiki merutuki dirinya sendiri yang sudah membuat Fajri menderita karena dirinya.

"Nggak ... nggak ... Fitri ..."

"Aji ..." panggil Fiki pelan, tapi Fajri sama sekali tak merespon.

Fiki makin gelisah. Anak itu mengigau menyebut-nyebut nama adiknya yang Fiki tahu nyawanya sudah dicabut Sang Khaliq.

"Fitri ... Fitri ..."

"Fitri! Ini Abang ..."

"FITRI!"

Mata itu terbuka lebar dengan netranya yang mengecil, bersamaan dengan air mata yang tak berhenti membasahi pipinya. Dadanya naik turun karena nafasnya yang tak teratur.

"Aji!" Fiki hendak berdiri dari tempat duduknya untuk memanggil dokter, tapi tangan Fajri yang terbebas dari selang infus menarik bajunya.

"Fik ..." panggil Fajri. "Disini aja, aku nggak mau sendiri."

Fiki hanya menurut. Dia kembali duduk diam di tempatnya, duduk di samping Fajri yang menatap lemah kearahnya. "Ini rumah sakit?"

"Iya, Ji. Ini rumah sakit, waktu di apartemen kamu tiba-tiba pingsan. Aku nggak tahu mau ngapain lagi selain bawa kamu ke rumah sakit. Umi sama Abi kamu ada di mushola, sedang shalat. Bang Ridwan juga lagi di rumah jagain yang lain. Mereka udah dateng tadi, dan sekarang udah pulang."

Fajri hanya bisa diam. Bayang-bayang Fitri yang kembali muncul di benaknya berhasil membuatnya kembali meneteskan air mata. "Fi ... Fitri gimana, Fik? Dia pasti nggak bisa-"

Fiki menggeleng sedih. "Seperti yang kamu pikirin. Dua hari lalu pemakaman Fitri dilakukan."

Sret!

Tiba-tiba saja Fajri terbangun dan hendak turun dari atas brankar, untung saja Fiki berhasil mencegah Fajri untuk tidak berbuat yang macam-macam. "Eh, eh? Ni bocah satu, mau ngapain?"

"Mau ke tempat Fitri," ujar Fajri polos, namun tak bisa dipungkiri kalau ia sangat terpukul sekarang ini.

"Yaelah, nanti aja, Ji. Kamu itu pingsan dua hari tahu, nggak? Fisik kamu itu masih-"

"Ini salahku," gumam Fajri yang mulai menyalahkan dirinya sendiri. "Coba aja waktu itu aku bisa ngelawan, Fitri pasti masih ada menunggu di rumah sekarang."

"Tadi aku mimpi, aku lagi ada di lapangan luas, dan di tengah lapangan itu ada Fitri yang nangis manggil-manggil Abangnya, aku mau nyamperin Fitri, dan aku mau peluk dia, tapi tangan aku nggak bisa nyentuh dia, badan dia transparan. Fitri masih nangis sambil nyebut-nyebut nama Abangnya, Fik."

"Bukan salah Aji," ujar Fiki, mencoba menenangkan Fajri yang mulai terisak. "Itu takdir, kan? Adik kamu itu hebat, Ji. Dia pemberani."

"Iya, dia pemberani tapi Abangnya pengecut."

Youth And Strength (UN1TY) ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang