Semua perawat lelaki yang bertugas harus dikerahkan untuk menenangkan lelaki yang baru saja mematahkan tongkat penyangganya ketika dihantamkan sekuat tenaga ke tembok seolah ada sesuatu yang mengancamnya di sana. Satpam-satpam klinik pun dipanggil.
Sebelum semua kekacauan itu pasien mendadak berteriak kencang, nyaris histeris. Lalu dengan kasar melepaskan diri dari genggaman anak kecil yang hanya bisa menangis ketakutan—tak mengerti mengapa dirinya tiba-tiba terdorong ke lantai. Untungnya tubuh kecil anak itu bisa segera ditarik, menjauh dari bahaya. Kecuali memar ringan, lecet, dan lumuran isi perut ulat, tak ada masalah serius bagi anak itu.
"Penenang!" seru seorang perawat lelaki yang berusaha menggandoli leher pasien, sebelum terhempas oleh bantingannya. Lainnya menerima tinju di rahang dan tendangan lutut ke ulu hati, sementara seorang lagi masih berupaya memeluk pinggang pasien yang makin membuatnya berontak, memutar badan dengan liar. Seandainya satpam yang baru datang tak menghalangi langkahnya, mungkin pasien sudah melompat keluar jendela.
Gila. Padahal pasien seharusnya tahu mereka berada di lantai 2. Dengan cederanya, lelaki yang mengamuk itu bisa saja patah tulang di banyak tempat bila benar-benar terjun. Mendengar bagaimana lelaki itu melolong seperti hewan buas ketika para satpam menghalangi, sepertinya pasien memang sudah kehilangan akal sehat.
"Tak ada lagiii!" timpal perawat yang tadi bertugas mengawasi terapi fisik pasien, memandang putus asa pada dua spuit yang hancur terinjak di lantai.
"Panggil Dokter Auer untuk minta set penenang lagi!" Kali ini yang berseru Tilia. "Cepat!!!"
Tergopoh-gopoh perawat itu berlari keluar ruangan.
"Kunci pintunya!" seru Tilia begitu melihat pasien yang masih digandoli, memutar arah menuju pintu. Perempuan itu menyerahkan lap dan botol air pada perawat lain yang mengamankan anak kecil tadi. Kemudian Tilia meraih pistol kejut yang belakangan selalu ada di saku scrub-nya.
"Semua menjauh!" serunya memberi aba-aba.
Begitu kontak dengan pasien terlepas, picu ditarik. Dalam sekejap, meluncurlah dua kabel ke arah punggung lelaki yang sibuk menghantamkan sisa tongkatnya pada engsel pintu yang terkunci dari luar. Tubuh jangkungnya terkejut dan terlihat kejang beberapa saat sebelum kedua lututnya terjatuh ke lantai.
Para satpam dan perawat lelaki yang masih bisa bergerak terlihat tertatih-tatih mendekati pasien yang meringkuk di dekat pintu dengan hati-hati.
Tilia yang ikut melangkah di belakang mereka, mendengar gumaman-gumaman pasien yang terucap berulang-ulang. Perempuan itu memasang telinga dan menangkap ucapan,
"Tak bisa ... Aku tak mampu ... Aku kabur ... Maafkan aku ...."Suaranya terdengar sangat rapuh, lirih, dan bergetar. Entah karena gumpalan emosi pasien yang akhirnya pecah ataukah akibat sisa kejang dari setruman yang tadi dialami. Tilia mendekat untuk mendengar lebih jelas.
"...Biar aku yang ... Maafkan aku ... Harusnya ... aku ...."
"Pada siapa permintaan maaf itu ditujukan, Tuan Bebek?"
Pertanyaan Tilia itu membuat gumaman pasien berhenti. Perlahan, sangat pelan, lelaki yang mematung dengan posisi berlutut menoleh padanya. Mungkin Tilia salah lihat, tetapi untuk sesaat mata cokelat pasien terlihat waras saat bertemu pandang dengannya.
Rasa penasaran membuat Tilia maju lebih dekat dari seharusnya.
"SUSTER TILIA!" jerit salah seorang perawat, menyadari lengan pasien sudah terulur ke arah perempuan itu.
Terkejut. Tilia buru-buru melangkah mundur, tetapi sol sandal ruangannya menginjak gundukan jeli ulat, membuatnya terjerembab. Para perawat lelaki yang tadinya hendak menyergap pasien, bergegas mengubah arah untuk menarik Tilia menjauh dari gapaiannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
KABUR
ActionTentang seorang jomblowan berusaha bertahan hidup di dunia yang sudah sekarat.