bagian tiga belas
Ibrahim Baldwin
"MAMPIR makan dulu?" Koper sudah lengkap dan kita berempat sudah masuk dalam mini bus yang dikirimkan dari Villa tempat kita biasa menginap kalau ke Bali. Kebetulan Villanya punya Bimo, salah satu temen bisnis gue.
"Boleh Pak—,"
"Em, gue langsung ke Villa aja deh."
Suara dari belakang, suaranya Safa. Nih cewek emang kadang-kadang suka bikin gue naik darah. Udah jelas-jelas tujuannya biar dia bisa makan dulu. "Lo diet apa gimana sih? Mau mati lo?"
"Cih, gue mau makan tapi nggak di restoran. Maunya di Villa aja." Rengeknya.
"Ribet, tempatnya tuh masih jauh."
"Ih gue nggak ma—,"
Langsung gue tepuk lengan Calvin, mengacuhkan ocehan Safa. "Ke restoran seafood Vin."
"Siap bos."
"Tunggu dulu Ibra. Gue tuh nggak mau, jadi langsung ke Villa aja yah." Ujarnya pelan tapi sedikit memelas, nggak ngegas kayak barusan.
Oke Ibra, tarik nafas dulu. "Nona Safalia yang terhormat, ini bukan saat dimana keinginan lo harus gue turutin. Gue bukan bokap lo," Selanjutnya yang gue lakukan, mungkin adalah hal yang akan gue sesali nantinya. "Sekarang kalo lo mau langsung ke Villa, ini duit buat lo. Lo pergi sendiri! karena yang lain masih mau makan." Gue menyerahkan uang seratus ribuan sebanyak sepuluh lembar ke Safa. "Lo jangan egois. Jangan karena sifat manja lo, yang lain harus dikorbanin."
Dia diam menatap gue, lalu merampas uang yang gue kasih. "Maaf kalau gue egois, tapi gue nggak manja ya. Gue cuma ngasih saran aja." Matanya berkaca dan suaranya sedikit bergetar. Setelah itu dia langsung membuka pintu mobil dan membantingnya dari luar.
"Bos—," ya, gue tau Tari lagi bingung diposisi dia sebagai temen Safa dan juga sekretaris gue.
"Diem disitu atau lo gue pecat."
"I-iya bos," Tari menunduk lagi dan hanya diam.
*
Sesampainya di restoran seafood yang paling dekat dengan bandara, gue langsung menyuruh Calvin dan Tari untuk memesan makanan. Sebenarnya gue nggak terlalu lapar, gue yakin Calvin dan Tari juga sama. Karena sebelum berangkat, kita juga udah makan.
Yang belum makan itu Safa, and gosh dia bahkan belum makan dari siang—kalau gue nggak salah denger omongan mereka tadi. Tujuan gue ngajak makan deket dari bandara biar dia bisa cepet makannya.
Semua karena dia yang egois dan kelewat manja. Jujur gue paling nggak suka sama orang yang menuntut harus dituruti kemuannya, yah pada intinya gue juga nggak mau dibantah sih. Pokoknya apapun yang keluar dari mulut gue, harus dituruti.
"Bos, ikan bakarnya habis. Mau diganti apa?" Ujar Tari yang sudah sampai disamping gue sambil membawa nampan berisi tiga gelas es jeruk peras.
"Adanya apa?"
"Udang bakar sama cumi lada hitam bos,"
"Yaudah itu aja,"
Tari mengangguk dan langsung menuju Calvin yang sedang berdiri didepan meja kasir. Setelah itu mereka berdua kembali dan menyerahkan kartu yang barusan gue kasih untuk membayar.
"Katanya sepuluh menit lagi beres Bos." Ujar Calvin dan gue langsung gue jawab dengan anggukan.
Suasana hening, Calvin sibuk melihat daftar menu dan sesekali memantau ke arah dapur, Tari yang sedang sibuk dengan ponselnya seolah sedang menghubungi seseorang.
"Siapa Tari?"
"Enggak bos." Ujarnya ragu, tapi begitu tatapan kami bertemu, Tari langsung nyengir. "Saya coba telpon Safa bos, tapi nggak di angkat."
"Ck bocah. Temen kamu itu harusnya kamu cuekin aja."
"I-iya bos."
Nggak lama setelah itu, sesuai janji dari kasirnya makanan tiba setelah sepuluh menit. Udang bakar dan cumi lada hitamnya terlihat menggoda untuk disantap plus es jeruk peras kesukaan gue. "Makan dulu Tari, Calvin, setelah itu kita langsung ke Villa." Gue menoleh ke sebelah kiri, dan nampaknya Tari masih sibuk dengan ponselnya. "Tari, makan."
"Em siap bos."
"Hape kamu itu disimpen. Kamu tahu kan, saya paling nggak suka sama orang yang etikanya kosong?"
"I-iya bos, maaf." Tari mengangguk, raut wajahnya berubah muram dan canggung. Ponselnya langsung dia masukkan ke dalam tas selempang kecil yang dikenakannya. Dia langsung mengambil piring serta sendok dan garpu lalu mulai makan.
"Nah," pandangan gue teralih ke arah Calvin yang sedang sibuk membuka cangkang udangnya menggunakan sendok dan garpu. "Pake tangan aja Vin, ribet banget."
"Nggak bos, saya mau belajar biar next time nggak malu-maluin."
"Emangnya lo mau kesini lagi Vin? Sama siapa?"
Calvin hanya tersenyum malu-malu sambil memakan udangnya yang sudah bersih. "Sama ceweknya bos, dia ikut ke Bali tuh sekalian mau survei lokasi katanya."
"Bangke, jangan jujur gitu dong lo." Semburat kemerahan muncul di wajah Calvin yang putih karena dia emang keturunan chinesse.
"Udah Tari, jangan digangguin lagi. Kasian mukanya koko merah."
"Astaga bos."
Kita bertiga tertawa lepas sambil menikmati makanan yang ada, ketika tiba-tiba ponsel Tari berdering. Gue udah hafal bunyinya karena emang gue sering denger waktu perjalanan ke luar kota atau ke luar negeri bareng Tari. Tari bergeming, bahkan nggak mengecek tasnya untuk mematikan ponselnya. Kayaknya dia merekam bulat-bulat ucapan gue tadi.
"Cek dulu hape kamu Tari, kalau seandainya emang penting di angkat aja." Tari mengangguk dan langsung ngecek tasnya, dan ngeluarin ponselnya yang nggak berhenti berdering dari tadi. Dia menatap ponselnya lalu bergeming. "Siapa?"
"Safa bos,"
Gue mengangguk, emang cewek manja. Gue udah tahu kalau dia cuma ngancem doang tadi, ujung-ujungnya bakalan nelpon balik. "Ck, yaudah angkat aja."
Tari langsung mengangguk, dan menekan tombol hijau. "Halo Sa,"
Tari diam sejenak seolah menunggu suara dari seberang sana berbicara. "Kenapa Sa? Suara lo nggak jelas." Tanpa sadar, gue juga mulai menghentikan aktivitas gue dan fokus mendengarkan.
"Aduh." Tari mengesah, lalu mengambil ponselnya dan menekan tombol panggilan berulang-ulang.
"Kenapa Ta?" Tanya Calvin diseberang. Sama kayak gue, Calvin juga kelihatan penasaran.
Tari menatap gue dengan wajah panik. "Ini Bos, Vin, tadi Safa nelpon saya, suaranya melas gitu terus tiba-tiba mati. Pas saya telpon balik, udah nggak aktif lagi nomernya." Suara Tari sedikit bergetar antara panik dan ingin menangis. "Gimana nih bos? Saya takut Safa kenapa-kenapa."
"Kamu santai dulu, minum dulu." Gue menggeser gelas berisi jus jeruk tadi. "Mungkin dia lagi sok ngambek sama kamu, makanya dia matiin telponnya. Kamu kan tahu dia bocah banget."
Tari mengangguk sambil berusaha menelpon nomer Safa tiada henti. "Apa kita cek ke bandara lagi aja bos? Saya takut dia kenapa-kenapa. Dia nggak biasa kayak gini soalnya." Tari menatap gue takut-takut.
"Iya bos, saya juga setuju." Calvin menambahi.
"Atau kalau nggak, Pak Bos tunggu aja disini, biar saya sama Calvin yang nyusul. Setelah itu kita ke sini lagi jemput Pak Bos."
Idenya cukup bagus, tapi entah kenapa gue juga sedikit penasaran cewek itu kenapa. Penasaran hal aneh apa yang dia lakukan ya, bukan yang laen. "Nggak deh, saya ikut aja. Saya mau lihat gimana dia berulah."
Gue langsung bangkit dan Calvin juga Tari masih bergeming ditempatnya. "Ayok, katanya mau nyusul si tuan putri?"
"I-iya Bos,"
_______________________________
KAMU SEDANG MEMBACA
Limerence 🔞
RomanceLimerence adalah sebuah kata benda yang berarti "Kita sedang tergila-gila dengan seseorang," Ibrahim Baldwin tidak pernah menyangka akan dijodohkan ibunya dengan orang yang tidak ia kenali--Safalia Dermin. Sementara disaat yang sama, dirinya bahkan...