10. Di Ruang BK

2.3K 221 17
                                    

"Jika orang-orang ingin menjatuhkanmu, itu menunjukkan bahwa kamu berada di atas mereka." –Unknown

***


Perdebatan di ruang BK berlangsung alot. Kini hanya tinggal Nola dan Ben yang dihadapkan dengan bu Lilis di ruangan itu, sementara Kaisar baru saja keluar setelah diberi sanksi untuk tidak boleh menggunakan ruang ekskul seni untuk berkonten.

Rupanya, mengurangi satu manusia yang keluar dari ruang BK tidak membuat ruangan itu menjadi sedikit lebih tenang. Sebaliknya, keadaan menjadi sangat ricuh. Nola terus menyangkal tuduhan Ben yang mengatakan bahwa adik cowok itu adalah korban perisakan dari Nola.

"CUKUP!" Suara bu Lilis membuat keduanya terdiam. "Ben, kamu punya bukti apa sampai menuduh Nola seperti itu?" Pandangan bu Lilis menatap Ben lurus.

"Adik saya yang bilang sendiri sama saya, Bu. Hampir semua ciri-ciri korban bully yang Ibu jelaskan di podcast saya waktu itu dialami Naya." Ben menjawab dengan menggebu-gebu.

"Naya? Gue aja baru dengar nama itu. Gue nggak kenal adek lo!" bantah Nola tak terima.

"Tukang bully emang nggak perlu tau nama korbannya, kan?" balas Ben dengan suara tak kalah tinggi.

"Enak aja. Gue kalo cari perhitungan sama orang, harus tau dulu siapa dia dan apa kesalahannya!"

Ben mendengkus. "Jadi, lo tau siapa nama adik kelas yang waktu itu mau lo tampar?"

Nola membuka mulutnya sambil memutar tubuhnya menghadap Ben dengan tidak sabar. "Lo nggak bisa nuduh gue cuma karena pernah mergokin gue mojokin adik kelas."

"Tentu aja bisa. Gue nggak heran kalo tindakan yang lo lakuin ke adek gue jauh lebih brutal!"

Nola bersiap menimpali, tapi bu Lilis kembali menengahi. "Cukup! Kalian ini bisa tenang sedikit tidak, sih? Ben, kalo gitu panggil adikmu ke sini sekarang. Kita dengarkan langsung pengakuannya."

"Naya pagi tadi dilarikan ke rumah sakit, Bu."

"Apa?" Bu Lilis tampak terkejut. "Separah itu?"

Anggukan Ben membuat bu Lilis menatap Nola tak percaya. Namun, ekspresi yang ditunjukkan Nola saat ini justru sama terkejutnya dengan bu Lilis.

"Sebelah matanya memar seperti habis dipukul benda tumpul. Dia juga hampir tidak mau makan beberapa hari belakangan ini, Bu," terang Ben.

"Bagaimana keadaannya sekarang?" tanya bu Lilis prihatin.

"Pagi tadi dokter bilang Naya harus dirawat sementara. Pulang sekolah nanti baru saya ke sana buat nemenin."

"Berarti sekarang adik kamu nggak ada yang jagain di sana?"

Ben mengangguk. "Setelah ngurusin Naya di rumah sakit tadi, saya langsung ke sekolah. Saya merasa harus buat perhitungan sama yang udah bikin Naya seperti itu." Ia melirik Nola seolah ingin melenyapkan cewek itu saat ini juga.

"Kalo gitu kamu cepat kembali ke rumah sakit. Kasihan adik kamu pasti bingung kalo siuman nanti nggak ada siapa-siapa di sana," ujar bu Lilis.

"Terima kasih, Bu." Ben beranjak kemudian melirik Nola yang tampak tidak percaya dengan semuanya. "Tolong hukum dia seberat-beratnya. Kalo perlu dikeluarkan saja dari sekolah."

Ucapan Ben membuat Nola membuka mulutnya.

"Biar Ibu yang urus. Kamu susul Naya, sana."

Ben pamit, lalu berbalik menuju pintu. Tangannya meraih ponsel yang sejak tadi bergetar di sakunya. Rupanya ada puluhan notifikasi pesan dan juga panggilan tidak terjawab dari Naya.

Demi KontenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang