Sesuai dengan keinginan sang ibu, hari pernikahan Rosie digelar pada suatu hari yang cerah di bulan Juni. Segala sesuatu telah dipersiapkan sedemikian rupa. Mulai dari dekorasi hingga menu makanan semuanya tampak sempurna kecuali sang mempelai wanita.
Sekilas tak ada yang kurang dari penampilan Rosie. Polesan make up natural masih tampak cantik di atas kulit wajahnya yang lembut. Gaun pernikahan dan perhiasannya juga dipesan khusus dari seorang desainer kenamaan.
"Ini benar-benar menyedihkan," gerutu Rosie pelan sambil menatap pantulan dirinya di cermin.
Lili menatap Rosie dengan tatapan sendu, sebagai sahabat Lili dapat memahami perasaan Rosie. Mempelai pengantin seharusnya menjadi orang yang paling berbahagia namun hal itu tidak berlaku bagi Rosie. Menikah bukanlah keinginannya melainkan keinginan kedua orang tuanya.
Sebagai putri yang dilahirkan dari keluarga konglomerat seperti Rosie, pernikahan yang hanya didasari oleh rasa cinta dianggap sebagai hal yang konyol. Bagi keluarganya, pernikahan tidak jauh berbeda dengan sebuah kesepakatan bisnis. Ironis namun terjadi.
Belum genap dua bulan sejak Rosie dipertemukan dengan Loey, calon suaminya. Karakter dan kepribadian Loey jelas belum begitu Rosie pahami tapi yang pasti adalah pria itu tampan dan pekerja keras, calon menantu sempurna bagi ayah dan ibunya.
"Aku harap Loey punya saudara-saudara yang keren dan tampan," Lili mengubah topik pembicaraan, ia tidak ingin Rosie terlalu larut dalam kesedihan.
"Sepertinya Jeffrey pernah cerita kalau Loey punya adik yang sangat tampan"
"Benarkah?" bola mata Lili membulat sempurna saat mendengar kata tampan, ia antusias.
"Nanti akan aku perkenalkan tapi tepati dulu janjimu untuk menemaniku seharian."
Lili mengangguk antusias, bayangan pria tampan tengah menari-nari di atas kepalanya.
"Setidaknya salah satu dari kita harus bahagia dengan pernikahannya," Rosie memeluk Lili, ia benar-benar berharap Lili tak bernasib sama dengannya.
Lili mengulas senyuman getir di bahu Rosie. Sama seperti harapan Rosie, Lili juga ingin sahabatnya bahagia meski kebahagiaan tak akan datang begitu saja di pernikahan Rosie. Loey diperkenalkan sebagai pria single oleh orang tuanya namun sayang hal itu tidak sepenuhnya benar. Hati Loey telah ada yang memiliki dan bukan Rosie orangnya.
Sejak kecil Rosie dididik untuk mematuhi peraturan, tidak berkencan adalah satu dari beberapa aturan yang ada. Awalnya Rosie tidak menyukai aturan tersebut tapi sekarang ia mengerti. Cinta jika dipupuk terus menerus akan menimbulkan hasrat untuk memiliki, namun jika kehidupannya saja bukan miliknya seutuhnya maka apakah ia masih berhak untuk memiliki hasrat tersebut?
Rosie telah menerima banyak hal dari orang tuanya. Ia hidup dengan nyaman tanpa pernah kesulitan berkat kedua orang tuanya sehingga membalas kebaikan mereka adalah sebuah kewajiban. Mutlak hukumnya.
"Berbahagialah Rosie, bagaimanapun ini adalah hari pernikahanmu."
"Aku tahu," Rosie memaksakan senyuman di wajahnya dan Lili menyadarinya. Rosie dan calon suaminya tak saling menginginkan, tak ada cinta di antara keduanya.
"Anyway," Lili memasang wajah antusias, "apa yang adik Loey kerjakan?"
"Mmm," Rosie merenung, "kurasa tidak jauh dengan apa yang kulakukan selama ini."
Terlahir sebagai putri bungsu kembar bersaudara, Rosie tidak pernah dituntut untuk menjadi sempurna seperti Jeffrey meski kesempurnaan tidak akan pernah ada di dunia ini. Di saat Jeffrey sibuk dituntut untuk mampu dalam mengelola bisnis keluarga dan memperluas jaringan, Rosie hanya perlu untuk tampil anggun dan menawan. Tidak perlu keberatan karena Rosie menikmati hidupnya.
Jeffrey adalah pria sempurna lain setelah Loey, mungkin. Keduanya hidup di lingkungan yang sama. Latar belakang pendidikan keduanya sama-sama baik dan untuk urusan penampilan, hanya usia saja yang membedakan keduanya. Jika Jeffrey berwajah lembut namun penuh kharisma, Loey sepenuhnya mengintimidasi. Sorot matanya, raut wajahnya bahkan guratan alisnya cukup membuat orang lain tidak ingin membuat masalah dengannya.
Di pertemuan pertamanya dengan Rosie, Loey sukses membuat calon ibu mertuanya berbunga-bunga. Ia adalah pria muda yang santun dan penuh pesona. Namun jika ibu Rosie pulang dengan kesan positip tentang calon menantunya, Rosie justru pulang dengan suasana hati yang rumit. Pria itu sepenuhnya jujur dengan keadaanya, sikapnya benar namun terasa salah di hati Rosie. Wanita mana yang bisa tenang jika calon suaminya justru memperingatkannya untuk tidak mengharapkan cinta, hanya komitmen untuk tidak saling menyakiti baik fisik, verbal maupun perasaan.
Sepertinya janjinya, Lili menemani Rosie di sepanjang malam. Melakukan upacara sampai akhirnya Rosie berdiri di altar, berhadap-hadapan dengan calon suaminya. Sebelum sampai di altar, Rosie mendengar ibunya menangis tersedu-sedu karena bahagia. Rosie tersenyum pada ibunya, bertukar signal seolah Rosie baik-baik saja.
Loey berdiri di hadapan Rosie, menatapnya dengan tatapan yang orang lain pikir memancarkan cinta. Tidak seburuk bayangannya, semuanya berjalan sangat lancar sampai saat dimana keduanya harus menyelesaikan perjanjian sehidup semati. Loey melangkah ke depan, mengikis jarak fisik antara ia dan Rosie.
"Kita punya penonton," bisiknya dengan wajah tersenyum.
Rosie mengangguk, ia sudah menyiapkan mentalnya. Ciuman pertamanya dimulai dengan sangat lembut. Bibir lembab Loey terasa manis di bibir Rosie. Tidak ada gerakan, hanya saling menyentuh namun cukup membuat Rosie meneteskan air mata yang orang lain pikir adalah air mata kebahagiaan.
"Aku berjanji setia hanya kepadamu," kata Loey di akhir ciuman mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mask for Us ✔
FanfictionSebuah kisah cinta antara Rosie dan Loey yang diawali dengan perjodohan kedua orang tua mereka