2

314 60 0
                                    

Acara berikutnya adalah pesta setelah upacara pernikahan. Baik Rosie maupun Loey, keduanya hampir tidak pernah melepaskan tautan lengan mereka. Sebagian besar tamu memuji keserasian mereka dan bahkan mendoakan agar keduanya cepat diberikan keturunan. Rosie bertanya-tanya, jika ia melahirkan maka bayinya akan lebih mirip dengannya atau Loey, yang jelas siapapun tidak masalah, keduanya rupawan.

"Aku harus pergi ke toilet," Rosie perlu menjinjit untuk menyamakan posisi bibirnya di telinga Loey dan Loey cukup peka dengan merendahkan sedikit tubuhnya.

Rosie butuh waktu lebih lama di dalam toilet, ia bahkan berharap bisa tinggal sampai pestanya benar-benar usai.

"Hai," seorang gadis menyapa Rosie yang baru saja melangkahkan kakinya keluar dari salah satu bilik toilet.

Rosie mengenali gadis itu. Gadis berwajah lembut dengan rambut sepanjang bahu.

"Windy?"
 
Percayalah, bertemu dengan mantan pacar suamimu di acara pernikahanmu bukanlah hal yang menyenangkan namun Rosie tidak punya alasan kuat untuk menampakkannya.

Salah satu sisi baik Loey adalah pria itu jujur, bahkan terlalu jujur. Loey memberitahu Rosie segala hal tentang Windy, salahkan Rosie yang justru antusias mendengar kisah cinta calon suaminya. Perawan menyedihkan.

Loey bertemu dengan Windy lewat acara sosial. Kala itu Windy adalah mahasiswi kedokteran di kampus Loey. Keduanya jatuh cinta namun sayangnya kenyataan memisahkan keduanya. Seorang yatim piatu yang sukses berkuliah di jurusan kedokteran tak cukup untuk membuat keluarga Loey takjub. Sejak awal mereka tidak peduli dengan siapa calon menantu mereka tapi dari mana calon menantu mereka berasal lah yang terpenting.

"Rosie maafkan aku," luka hati yang mendalam jelas terlihat di seluruh wajahnya.

"Apa kamu ingin menemui Loey?" Rosie tidak begitu peduli tentang bagaimana Windy bisa hadir karena setahunya hanya undangan yang dapat hadir di pesta mereka, jelas Windy tidak ada dalam daftar.

"Apa aku bisa?"

Rosie mengangguk dan tersenyum. Ia menarik lengan Windy, secepat kilat berjalan ke ruang gantinya.

"Tunggu di sini, aku akan segera membawa Loey," Rosie berbalik dan menghampiri tujuannya yang tengah sibuk dengan para tamu undangan.

"Sayang," Rosie menarik perhatian Loey.

Mendengar Rosie memanggilnya dengan nama lain yang baru pertama kali ia dengar tentu menimbulkan reaksi wajah bertanya-tanya dari Loey.

"Ada yang ingin aku bicarakan, ini cukup penting."

Loey memberikan reaksi menolak lewat raut wajahnya, tidak ada yang lebih penting daripada menjilat kakeknya seperti yang sekarang sedang ia lakukan.

Rosie tersenyum sopan pada kakek mertuanya, "kakek, boleh aku pinjam kesayanganku sebentar?" Gurauan nakalnya cukup berhasil untuk meluluhkan seorang pria tua. Kakek mertuanya terkekeh lebar.

"Aku justru harus berterimakasih padamu," jawaban sang kakek cukup mengejutkan, "dia selalu hanya membahas bisnis denganku," wajahnya kecewa tapi ia tetap berusaha tertawa.

Sejak kecil putra pertama dari keluarga kaya sudah diberikan pembekalan tentang kepemimpinan masa depan. Mereka hampir tidak punya waktu untuk terikat secara emosional dengan keluarga mereka.

"Ada apa?" Loey bertanya kesal, ia hampir berhasil membujuk kakeknya untuk mempercepat pelantikannya sebagai komisaris.

"Windy ada disini," langkah Loey terhenti setelah mendengar nama Windy.

"Kenapa kamu mengijinkannya masuk?" nada marah terdengar jelas di telinga Rosie.

"Bukan aku," elak Rosie tak mau disalahkan. Ia hanya membantu Windy untuk bertemu Loey tapi bukan dia yang mengijinkan Windy masuk ke pesta.
 
"Seharusnya kamu tidak-" kalimat Loey terhenti saat pintu terbuka dari dalam, seorang gadis menatap Loey dengan sendu.

"Aku bisa pergi kalau kamu keberatan dengan keberadaanku."

Perubahan dari raut wajah kesal menjadi sedih  tertangkap jelas di mata Rosie, menyakitkan melihat orang lain menderita.

"Aku akan bilang kalau kamu sedang melakukan panggilan bisnis," kata Rosie tanpa menunggu Loey menjawab, ia tidak sanggup menahan rasa aneh di dadanya.

"Rosie," panggil Loey lirih, Rosie memutar tubuhnya. Selintas ia melihat rasa terimakasih di wajah suaminya.

Rosie tersenyum dan kembali ke ruangan pesta yang sayangnya seperti tidak merindukan keberadaannya. Ia kesepian di pesta pernikahannya sendiri.

"Sepertinya dulu aku adalah penghianat negara," gumamnya kesal.

Mask for Us ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang