Momen pengantin baru bukanlah hal yang akan Rosie dapatkan dari seorang Loey. Pria itu lebih banyak menghabiskan waktunya di luar rumah. Ia berangkat sangat pagi dan pulang larut malam. Perasaan sepi tidak dapat Rosie hindari.
Hari berganti hari dan bulan telah berganti bulan. Rosie menjalani kehidupannya sebagai seorang istri yang baik. Ia bangun pagi dan menyiapkan segala keperluan suaminya dengan tangannya sendiri. Ia masih merasa asing di rumahnya sendiri jadi menambahkan orang asing di tengah rumah tangganya akan sangat menyulitkan bagi seorang Rosie, setidaknya Rosie masih bisa menjadi dirinya sendiri saat Loey tidak berada di rumah.
Hari itu hari minggu, Rosie disibukkan dengan kegiatan memasak di dapur sedang Loey sibuk melakukan panggilan bisnis di ruang tamu. Membicarakan bisnis bahkan di hari libur bukan lagi hal yang mengejutkan bagi Rosie.
"Sepertinya kamu sulit tidur belakangan ini," kata Loey saat ia selesai dengan panggilan bisnisnya. Tenggorokannya mungkin kering, ia butuh melepas dahaga.
Kehangatan tiba-tiba menyelimuti hati Rosie. Ia pikir Loey tidak pernah memperhatikannya. Sebuah senyuman muncul begitu saja tanpa Rosie sadari.
Memang betul jika belakangan ini Rosie sulit tidur. Pertanyaan keluarganya tentang kapan Rosie hamil membuatnya tertekan, hanya berbagi oksigen tentu tidak akan pernah membuatnya hamil.
"Kalau kamu mau aku bisa tidur di kamar tamu," tangan Rosie berhenti memotong wortel, kepalanya berdenyut ngilu. Kehangatan yang sebelumnya mendadak sirna, "siapa tahu kamu terganggu dengan keberadaanku."
"Aku tidak terganggu," Rosie lanjut memotong wortelnya kembali, "sama sekali tidak terganggu," penekanannya pada kalimat tidak terganggu diharapkan mampu mempengaruhi ide Loey untuk pindah.
"Jika ada hal yang mengganggumu kamu bisa bicara denganku, mungkin aku bisa membantu."
Bantu aku hamil, bodoh.
Berada dalam satu bangunan yang sama dengan Loey adalah hal yang jarang terjadi di kehidupan Rosie. Biasanya Loey akan tetap pergi meski di hari libur.
"Kamu mau pergi?" tanya Loey saat Rosie keluar kamar ganti dengan beberapa produk kecantikan di wajahnya.
"Tidak, aku tidak."
Rosie meringkuk sedih, pertanyaan Loey menimbulkan kerusakan pada mood Rosie malam itu. Loey bertanya dengan sangat ofensif seakan-akan berdandan di malam hari adalah hal yang sangat aneh.
"Aku sebenarnya...," Rosie menyerah, ia tidak peduli dengan harga diri, Rosie membuka selimutnya, "apa kamu tidak suka melihatku berdandan?"
Rosie menggigit bibir bawahnya, bersiap dengan penolakan lainnya.
"Rosie, maafkan aku," wajah Loey tersirat rasa bersalah, "ketertarikanku padamu tidak seperti itu."
Lalu ketertarikan seperti apa yang kamu rasakan?
"Kamu cantik, tapi aku tidak punya keinginan untuk melakukannya denganmu."
Hancur sudah pertahanan Rosie. Selama ini kata cantik memang selalu tersemat di setiap pujian yang orang lain berikan padanya. Ia cantik namun ia bukan Jeffrey. Ia cantik namun ia bukan kesayangan ayahnya. Ia cantik namun hanya cantik saja, ia tidak punya yang lebih dari sekedar cantik.
"Oh," Rosie ingin mengungkapkan sesuatu namun kata-katanya tertahan di tenggorokan, rasa malunya lebih besar daripada kekecewaannya.
"Rosie, maafkan aku."
"Tidak, aku sepenuhnya bisa mengerti maksudmu."
Rosie menyelimuti tubuhnya kembali dengan selimut, lelehan air mata jatuh begitu saja sebelum Rosie sempat menyadarinya. Hatinya terluka atau mungkin harga dirinya yang terluka.
"Kita bisa menjadi teman baik, Rosie."
"Tentu," Rosie mempersingkat jawabannya, ia tidak ingin Loey menangkap suara tangisannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mask for Us ✔
FanfictionSebuah kisah cinta antara Rosie dan Loey yang diawali dengan perjodohan kedua orang tua mereka