76

37.3K 6.7K 2.2K
                                    

“Teh atau kopi?” tawar Giandra memandang Nakusha di hadapannya dengan ekspresi lega. Melihat remaja yang menggunakan kacamata itu membuatnya merasa melihat dirinya yang lebih muda.

“Susu jahe.”

Giandra tertegun sebentar, sebelum mengulas senyum dan menyuruh pelayan menyiapkannya. Tatapannya kembali kepada Nakusha yang menatapnya tenang. “Bagaimana tubuhmu? Papa dengar kamu keluar dari rumah sakit setelah seminggu. Apa lukamu sudah membaik saat ini?”

“Baik.” Nakusha mengangguk samar. “Saya datang ke sini untuk menanyakan gedung apartemen saya. Apa yang terjadi?”

“Ah, soal itu.” Pria itu menyandarkan tubuh pada sandaran sofa. Kulit wajahnya yang sudah dimakan umur masih terlihat tampan dengan senyum kecil di bibirnya. “Gedung apartemen itu sudah tua. Pemiliknya menjualnya dengan harga miring. Jadi Papa membelinya untuk membangun suatu usaha di sana.”

Nakusha mengernyit, seolah memikirkan sesuatu. Mungkin menebak apa yang dipikirkannya, Giandra kembali bersuara. “Semua barang-barang di apartemenmu sudah Papa simpan ditempat yang aman.”

“Kalau begitu terima kasih.”

Apapun yang dibicarakan Giandra, sebisa mungkin Nakusha akan menanggapi. Meski singkat, Giandra cukup puas bahwa Nakusha pelan-pelan telah menerima sosoknya.

Di sela pembicaraan Giandra, Nakusha yang tiba-tiba mencium aroma samar susu jahe tanpa sadar menoleh.

Sejak tadi Giandra mengamati reaksi kecil Nakusha. Melihatnya begitu menantikan susu jahe membuatnya ingin tertawa namun dalam hati mencatat kesukaannya. Sepertinya dia harus menyuruh pelayan untuk menyediakan susu jahe untuk anak sulungnya.

“Nakusha, maafkan Papa tidak bisa melindungimu dan mamamu.” Pria itu menghela napas berat. Tatapannya tertuju kosong pada meja berkaki pendek di hadapannya, seolah tengah menerawang. “Papa tahu kesulitan mamamu, tapi Papa tidak bisa mencegahnya rileks dari semua hal itu. Papa tidak kompeten sebagai suaminya.”

Nakusha mengelus gelas di tangannya menggunakan jari jempolnya, merasakan dengan hati-hati rasa panas yang menyengat kulitnya. “Mama... dia masih mencintai anda sampai akhir hayatnya.”

“Emily...,” Tenggorokan Giandra tercekat, tidak mampu mengungkapkan kata-kata lagi. Perasaannya bercampur aduk, antara sedih, bingung dan cemas.

“Nakusha, papamu adalah pria terbaik yang pernah Mama temukan. Hingga saat ini, Mama tidak pernah menyesal bersamanya.” Wanita kurus yang hanya menyisakan kulit tanpa lemak itu tersenyum getir. Wajahnya pucat, kelopak mata cekung, dengan pipi tirus hingga tulang pipinya menonjol, membuat wajahnya terlihat menyeramkan. Namun ekspresi bahagia masih tidak dapat ditutupi.

Nakusha mencengkram pegangan gelas erat sebelum meletakkan gelas di atas meja untuk menutupi tangannya yang gemetar tak terkendali saat teringat kejadian itu. Beberapa saat kemudian dia mendongak menatap Giandra. “Mama mengatakan itu tentang anda.”

Air berhasil mengalir dari mata Giandra. Dadanya terasa menyakitkan seolah sesuatu memukul kuat di sana. Dia tidak pernah membayangkan bahkan di saat Emily kesusahan, dia masih akan mencintainya begitu dalam. Giandra memiliki banyak kekurangan ketika mereka bersama. Dia menyesal, dia ingin wanita itu kembali ke sisinya meski itu suatu hal yang mustahil terjadi.

Di tengah suasana hening itu, suara high heels terdengar mendekat diiringi suara nyaring seorang wanita. “KAU?! APA YANG KAU LAKUKAN DI SINI?!”

Nakusha meliriknya dingin sebelum meraih gelas dan meminum susu jahe di dalam hingga tandas.

Giandra dengan tenang menghapus air matanya hingga tak terlihat lagi kerapuhannya seperti sebelumnya sebelum menoleh. “Jangan berteriak. Ini rumah Nakusha juga, tidak ada salahnya dia pulang.”

“TIDAK BISA!” Vela berteriak keras. Matanya melotot ke arah Giandra sambil menunjuk Nakusha. “Sampai kapan pun aku gak bakal terima anak haram ini di rumah!”

“VELA!” Giandra membentak wanita itu, membuat nyalinya menciut. Giandra bangkit dari duduknya. “Nakusha, tetap di sini untuk makan siang. Vela, ikut saya ke ruang kerja.”

Nakusha tidak repot-repot menatap keduanya yang menaiki tangga yang terhubung ke lantai dua, melainkan tatapannya terarah pada sosok berseragam putih abu-abu yang bergeming beberapa meter jauh darinya.

“Nakusha?” Bian memanggil tak percaya. Dia berlari mendekat dan duduk di sofa sebelah Nakusha. “Lo berani dateng ke sini?!”

Kalimat Bian terdengar provokatif, namun kenyataannya ekspresinya yang berbinar-binar membuat Nakusha tidak bisa menahan tawa. Dia meletakkan tangannya di atas kepala Bian dan menepuknya beberapa kali.

“Seinget gue dulu lo pendeknya gak sampe 80 cm.”

Sontak Bian menepis tangan Nakusha dari kepalanya dan melompat berdiri sambil menunjuk Nakusha dengan wajah merah padam. “L-lo! Lo juga pendek waktu itu!”

Nakusha tidak menjawab, namun Bian semakin malu melihat senyum mengejeknya. Darahnya mendidih. Wajah Bian berubah cemberut, beralih duduk di sofa yang sebelumnya Giandra duduki agar bisa berhadapan dengan Nakusha. Dia ingin mogok bicara dengan Nakusha!

Melihat remaja itu marah, Nakusha tidak repot-repot membujuknya. Hanya Azalea yang bisa membuatnya turun tangan dengan berbagai cara untuk membuatnya kembali tersenyum cerah kepadanya. Mengingat sang pacar membuat Nakusha menghela napas samar. Dia merindukan suara gadis itu.

Ketika waktu makan siang, Giandra dan Vela akhirnya turun dari lantai dua. Wajah Giandra bermartabat seperti biasa, namun jika melihat wajah muram Vela, semua orang tahu bahwa hubungan mereka tidak baik-baik saja.

“Papa masih tidak tahu makanan kesukaanmu apa. Kalau ada, katakan pada koki di dapur agar membuatkan untukmu nanti.”

“Oke.”

Vela mendengkus kasar mendengar percakapan penuh kasih sayang sepasang ayah dan anak itu. Dia menyendok paha ayam dan meletakkannya di piring Bian. “Makan yang banyak, sayang. Tidak ada yang memperdulikan kita di keluarga ini.”

Giandra melirik Vela tajam, berhasil membuat wanita itu membungkam dan menunduk memakan makanannya. Setelah beberapa suapan, dia bangkit dengan kasar lalu berjalan pergi.

“Abaikan saja dia.” Giandra menggeleng tak berdaya. Seberusaha apapun dia memperingati Vela, itu tidak akan mengubah pola pikirnya dan menerima Nakusha dengan ikhlas.

Setelah makan siang selesai, Nakusha menolak tawaran Giandra untuk istirahat di sana dan memilih kembali ke sekolah. Sudah seminggu, batas waktu yang dia janjikan kepada Azalea. Dia tidak ingin mengingkari janji lagi.

Di garasi, tatapan datarnya tertuju pada wanita yang mendekati motornya dengan pisau di tangannya. Dia mendekatinya sambil memasukkan satu tangan ke kantong celana, berniat menonton niatnya dengan tenang.

“Aku akan memberikan pelajaran pada anak haram itu!” gumam Vela geram sembari melihat bolak-balik motor milik Nakusha. Karena tidak berpengalaman, dia tidak dapat menemukan sesuatu yang dicarinya.

“Selang remnya ada di sini.” Sebuah tangan terulur dari sampingnya, menunjuk bagian tertentu dari motor.

Vela terlonjak kaget. Pisau ditangannya sontak terjatuh ke lantai. Dia menoleh, menatap Nakusha dengan canggung. “A-apa yang kau lakukan di sini?”

“Menonton anda beraksi.”

Vela bergegas menjauh. Masih segar dalam ingatannya ancaman yang dilayangkan Giandra kepadanya tadi. Jika Nakusha melaporkan perbuatannya kepada Giandra, dia akan mendapat masalah besar.

“Sudah selesai? Saya mau pergi.” Nakusha melihatnya mundur, memakai helm lalu menaiki motornya. Setelah menghidupkan motor, alih-alih melajukannya segera, dia menoleh ke arah Vela dengan senyum miring yang tertutup helm. “Lebih baik amankan posisimu dan Bian di perusahaan. Aku takut kalian tidak akan mendapatkan sepeser pun di masa depan,” ujarnya ringan lalu melajukan motor. Ucapannya tidak serius, namun berhasil menakuti Vela setengah mati.

TBC

June 27, 2022.

2K komen🏃‍♀️

Azalea & Alter Ego Boy ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang