Luka itu masih ada dan saat ini ia tidak tahu harus bagaimana menyembuhkannya.
Mobil pick up hitam baru saja parkir di depan sebuah rumah berdinding biru muda tak jauh dari Masjid Al-Ijtihad. Seorang pengemudi dan dua penumpang yang duduk di bak belakang langsung melompat turun. Menurunkan satu-persatu barang yang ada di atas bak tersebut. Sepuluh galon air mineral, lima karung beras, sepuluh kotak roti kering, dan satu kotak obat-obatan yang mereka angkut dari Dermaga Menanga.
Seorang perempuan dengan teliti memeriksa satu-persatu barang yang diletakkan di teras rumah. Sesekali tangannya mencoret daftar pada buku kecil, lalu kembali beratensi pada persediaan yang akan ia butuhkan selama kurang lebih seminggu ke depan sebelum pergi ke pasar di pulau seberang di akhir pekan nanti. Akan ada cukup banyak tamu turis dan relawan di penginapannya, jadi ia memerlukan semua barang-barang itu.
"Sudah semua," lapor Khalik kepada Nindya, pemilik rumah sekaligus pelanggan tetapnya yang kerap memesan jasa angkut barang. "Terima kasih." Ia tersenyum lebar menerima sebuah amplop berisi ongkos. "Mau ada tamu lagi?" tanyanya sopan.
"Iya, Pak. Nanti kayaknya butuh bantuan buat angkut-angkut lagi," ujar Nindya.
"Beres. Tinggal telepon atau SMS saja. Kalau ini sudah, saya permisi, ya." Khalik beserta dua orang lainnya kemudian pamit.
Nindya menatap teras rumah yang begitu sesak. Wajahnya bersemu-semu tak sabar menunggu datangnya para tamu yang sudah lama absen dari penginapan sederhana yang ia buka sejak tiga tahun lalu. Kedatangannya di Lamakera waktu itu ternyata tidak hanya sekadar berlibur melepas masalah pelik paska perselingkuhan mantan kekasihnya. Ia memutuskan menetap di salah satu pulau penuh pesona di Kabupaten Flores Timur dengan membuka bisnis penginapan sebagai penghasilan utama.
Alam Lamakera di ujung timur Pulau Solor tidak sesubur tanah Jawa yang dilimpahi air bersih sehingga untuk konsumsi air minum, para penduduknya harus membeli air dari pasar terdekat di Pulau Adonara. Pasokan air bersih di desa itu baru bisa dinikmati para warga sejak dua tahun lalu. Ia bisa saja menggunakan air PDAM tersebut, tetapi kebanyakan para tamunya masih lebih suka mengonsumsi air mineral dari galon yang sudah terjamin tingkat kebersihannya. Maka dari itu, membeli banyak galon untuk kebutuhan tamu menempati daftar teratas barang yang ia butuhkan.
"Nin! Nindya!" Seorang perempuan berperawakan tubuh tinggi besar lari tergopoh-gopoh mendekati bangunan tempat penginapan Rumah Kita berada. Napasnya terengah-engah. "Fatimah mau melahirkan!"
Nindya sontak meletakkan buku kecilnya ke meja bambu di teras. "Mir, kamu jaga di sini dulu, ya," pesannya pada Mirna, seorang remaja yang membantunya mengurusi penginapan itu. "Sekarang Fatimah di mana?" tanyanya.
"Di rumah," jawab Nona. Ia dan Nindya kemudian berlarian ke arah dermaga. Derap kaki mereka mengundang atensi para warga yang sedang bersantai di beranda rumah. Dalam hitungan menit, keduanya sampai di sebuah rumah dekat pintu masuk Dermaga Menanga. "Itu, di teras belakang."
KAMU SEDANG MEMBACA
Dusk till Dawn [Selesai]
Romance1st Winner of EDITOR CHOICE at Author Got Talent 2022 by Penerbit Prospec Media. *** Nindya memutuskan tinggal di Lamakera yang jauh dari kota sejak Kai, kekasihnya, tidur dengan sahabatnya sendiri. Di Lamakera, Nindya membangun bisnis penginapan d...