"Kebahagiaan nggak hanya bersumber dari impian yang berhasil kita raih. Mengorbankan impian untuk membahagiakan orang lain juga sebuah kebahagiaan."
Segelas teh tawar hangat cukup untuk menjadi pereda mabuk. Kai masih menggenggam gelas panjang di sebuah warung makan tak jauh dari dermaga. Seorang perempuan bertopi hitam duduk di seberang meja dengan tatapan lurus tertuju padanya. Rasanya begitu canggung ketika hanya ada mereka berdua.
"Udah, kan?" Nindya memperhatikan tubuh Kai yang tidak lagi gemetaran parah seperti beberapa menit lalu.
Kai mengangguk. Kemudian, ia mendongak seraya mengulum senyum terbaik. "Udah baikan," jawabnya.
"Oke. Tehnya udah aku bayar. Kamu di sini aja dulu sampai beneran nggak mual," ujar Nindya. Diraihnya tas selempang kecil lalu keluar warung usai mengucap terima kasih kepada penjaganya.
"Mit!" panggil Kai. Kakinya tanpa sadar sudah melangkah keluar warung berdinding triplek dengan atap anyaman daun kelapa. "Boleh minta tolong, nggak?"
Nindya berdecak pelan. Ia melihat senyum lebar di bibir tebal Kai saat berbalik badan. "Apa?" tanyanya kesal.
"Anterin ke tempat service laptop kemarin. Aku lupa jalannya," kata Kai.
"Udah gede. Cari aja sendiri!"
"Kan, kamu tahu kalau aku susah hafal jalan."
Dari jarak sekitar lima meter, Nindya sengaja mengembuskan napasnya sekasar mungkin agar Kai tahu bahwa ia benar-benar kesal. "Kamu dari dulu emang suka ngerepotin, ya?" decaknya lagi.
"Aku udah nggak ngerepotin kamu hampir empat tahun, Mit. Anggap aja kamu lagi nolongin orang asing biar nggak tersesat. Dapat pahala nanti," bujuk Kai. Salah satu kelemahannya yang tidak disukai banyak orang adalah kemampuannya yang rendah dalam menghafal jalan dan arah. Saat ia dan Nindya masih berpacaran, perempuan yang ia bonceng itulah yang akan menjadi penunjuk jalan.
"Ya udah, buruan!"
Kai tersenyum makin lebar, lalu buru-buru berpamitan pada penjaga warung seraya mengambil tas punggungnya. Langkahnya terasa riang menyejajarkan diri dengan Nindya. "Mit," panggilnya. Namun, perempuan itu tidak menyahut atau sekadar menoleh ke kiri. "Boleh jujur?"
"Nggak!" tegas Nindya tanpa membalas tatapan Kai.
"Aku kangen kamu."
Deburan ombak beberapa meter di belakang tidak terdengar sama sekali oleh pendengaran Nindya. Hanya suara detak jantung yang tertangkap jelas sampai-sampai ia merinding sendiri. Kai sudah berpindah ke hadapannya dan lelaki bercelana jin biru muda itu menatapnya manis. Ia ingin megonfirmasi apa maksud ucapan Kai tadi, tetapi sebagian hatinya tahu bahwa ia sudah tidak butuh mendengarnya sekali lagi.
"I do really miss you, Armita."
Butuh beberapa menit sampai Nindya bisa menangkap kembali suara ombak yang kini dihiasi teriakan orang-orang di dermaga. Bahunya masih tegang. Begitu juga wajahnya yang kaku tanpa tatapan manis untuk membalas pengakuan Kai. "Aku harus peduli?" tanyanya ketus.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dusk till Dawn [Selesai]
Romansa1st Winner of EDITOR CHOICE at Author Got Talent 2022 by Penerbit Prospec Media. *** Nindya memutuskan tinggal di Lamakera yang jauh dari kota sejak Kai, kekasihnya, tidur dengan sahabatnya sendiri. Di Lamakera, Nindya membangun bisnis penginapan d...