19 | Bukti

557 76 7
                                    

Kai menyembunyikan sesuatu. Setidaknya itulah yang Nindya pikirkan sejak mantan kekasihnya meminta bicara empat mata dengan Kukuh setelah pria itu kembali dari TKP. Ia terpaksa keluar ruangan mempersilakan kedua orang itu berbincang. Langkahnya menyusuri lorong rumah sakit menuju kantin. Wajahnya masih murung dan ia cenderung melamun hingga tidak menyadari seseorang berlarian mengejarnya.

"Nindya!"

Perempuan itu tersentak mendengar pangggilan dari jarak dekat. Ia segera menoleh dan kerutan di dahinya bertambah tebal. "Zayn?" herannya. Ia tidak memberi tahu lelaki itu keberadaanya di Larantuka, tetapi kini ia melihat Zayn di hadapannya. "Nona kasih tahu kamu?"

"Iya," jawab Zayn. Ada nada tidak suka dari suaranya yang bercampur ekspresi wajah menahan amarah. "Kamu ngapain, sih, ke sini segala? Kan, kamu udah nggak ada hubungan apa-apa sama Kai."

"Memangnya kenapa? Meskipun kami udah putus, tapi aku berhak bantuin Kai, kan?"

"Masih ada Daniel atau siapa itu, Nindya! Aku nggak suka lihat kamu jauh-jauh ke sini buat dia. Kamu aja jarang mau aku ajakin ke sini."

Nindya menghela napas pelan. Ia kembali melangkah ke kantin, memesan dua porsi nasi goreng dan es teh, lalu duduk di salah satu meja kosong. Matanya enggan menatap Zayn, jadi ia mengarahkan penglihatannya ke taman di dekatnya. "Anggap aja aku lagi berbuat baik pada orang lain tanpa melihat aku kenal orang itu atau nggak," katanya.

"Nggak bisa!" sahut Zayn keras. "Aku tahu kamu orang baik, Nindya, tapi bukan berarti kamu bisa berbuat baik ke semua orang! Dia itu Kai!"

"Terus kenapa kalau dia Kai?" Nindya tidak bisa mengendalikan intonasinya yang mendadak tinggi. "Jelas-jelas aku tahu kalau dia butuh bantuan di sini. Kamu nyuruh aku menutup mata dan pura-pura nggak tahu?"

"Iya!"

Kedua mata Nindya refleks menyipit. "Zayn, kalau memang aku nggak bisa jadi orang baik, aku nggak mau jadi orang jahat," katanya.

"Kamu nggak bakal jadi orang jahat cuma karena nggak nolongin Kai, Nin." Zayn sebisa mungkin merendahkan nada bicaranya karena teringat mereka sedang berada di tempat umum. Ia mempersilakan pelayan mengantar makanan dan minuman ke mejanya lebih dulu untuk mengulur waktu atas pertanyaan yang ingin segera ia utarakan. Setelah cukup tenang, ia menatap serius ke seberang meja. "Nin," panggilnya.

"Apa?" respons Nindya dengan judes. Ia mengaduk-aduk nasi goreng tanpa berselera menyantapnya meski sudah terdengar bunyi keroncong dari dalam perut.

"Kamu masih suka sama Kai, kan?"

Pertanyaan itu sukses menghentikan gerakan Nindya di atas piring. Genggamannya pada sendok dan garpu mengerat. Ia tidak berani mendongak dan hanya diam mendengarkan detak jantungnya sendiri.

"Kamu melarikan diri bertahun-tahun dengan niat melupakan Kai, tapi kamu gagal, kan? Kamu masih ingat dia," kata Zayn sembari menyantap makanannya. "Aku bukannya sok tahu, tapi aku merasa kalau selama ini kamu selalu berharap Kai nggak salah dan ketika kamu tahu kalau dia beneran nggak salah, perasaan yang coba kamu kubur berubah menjadi bibit yang kamu tanam. Bibit itu tumbuh lagi sekarang. Apa aku salah?"

Sesaat Nindya terdiam mendengar suara lembut yang belakangan tidak ia dengar dari mulut Zayn. Dulu, saat ia berada di fase terpuruk akibat pengkhianatan sahabatnya, Zayn menjadi satu-satunya orang yang berani mendekat dengan segala macam kalimat penenang. Lelaki itu tidak merayu atau membujuknya agar bangkit, tetapi perlahan menuntunnya untuk kembali menghadapi kehidupan.

Nindya pernah yakin bahwa ia bisa saja melabuhkan hati ke dermaga baru seperti ia menemukan dermaga indah di Lamakera. Ia cukup senang menerima semua perhatian Zayn padanya. Namun, ada momen di mana ia tidak mau menganggap rasa senang itu sebagai sesuatu yang serius. Hatinya memutuskan untuk menganggap Zayn hanya sebatas teman dan ia memperlakukan lelaki itu sebagai sahabat yang bisa diandalkan.

Dusk till Dawn [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang