4 | Si Penolong

864 100 41
                                    

Kai lebih peduli dan bersikap luar biasa panik saat Nindya terluka.

Kai lebih peduli dan bersikap luar biasa panik saat Nindya terluka

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Nindya masih tidak percaya bahwa Febri sudah meninggal. Saat ia pulang dan melihat Nona sedang asyik bercengkerama dengan anak-anak di teras, ia tidak bisa menahan tangis lagi. Langkahnya segera memasuki rumah dan mengunci diri di kamar. Ia ingin beranggapan bahwa Kai hanya membual. Namun, malam hari ketika ia menceritakan hal tersebut pada Nona, sahabatnya itu hanya mengangguk dengan tatapan merasa bersalah.

Selama beberapa tahun tinggal di Lamakera, Nindya memang meminta pada Nona untuk tidak membicarakan apa pun tentang Kai dan Febri. Ia menutup diri dari segala informasi mengenai teman-temannya. Tidak pernah satu kali pun tergoda membuka media sosial hanya untuk mencari tahu kesibukan mereka di sana. Ia terlalu sibuk melupakan sakit hatinya sampai lupa bahwa banyak orang berusaha mengabari kepergian Febri.

Ketukan di pintu mengejutkan perempuan berpiyama biru muda itu. Nindya melangkah malas membuka pintu kamar dan mendapati Mirna tersenyum ramah. "Gimana, Mir?" tanyanya dengan suara serak paska tangis semalam suntuk.

"Sayurannya udah datang. Mau dimasak sekarang?"

Nindya mengangguk. Tanpa mengatakan apa-apa, ia menuju teras dan mengecek sayur serta buah-buah segar yang ia pesan dari penjual setempat. Biasanya ia pergi sendiri ke pasar di Pulau Adonara, tetapi karena sedang tidak enak badan, ia memesan kebutuhan dapur itu dan kini harus segera mengolahnya untuk para tamu.

Suara anak-anak desa terdengar begitu riang menyanyikan lagu-lagu nasional. Belasan anak itu berjalan beriringan bersama beberapa relawan. Wajah mereka berpeluh, pun dengan leher dan punggung mereka yang basah sampai terlihat jelas di kaos. Tawa mereka makin riang seakan tidak takut menghadapi hari esok.

Di antara gerombolan itu, Nindya memperhatikan Kai yang bertepuk tangan memberi dukungan pada anak-anak agar terus bernyanyi. Sesekali lelaki bersurai hitam itu ikut bernyanyi, sampai akhirnya Kai tidak sengaja menatap ke arah teras tempatnya berdiri. Selama beberapa detik, mereka bersitatap dalam satu garis lurus.

"Kak Nindya!" seru anak-anak itu saat mendekati rumah biru muda.

Nindya langsung mengubah wajah masamnya menjadi penuh senyum hangat. Matahari sudah bersinar terik dan aroma laut tercium kuat dari badan anak-anak yang mendekat padanya lalu bergelayut manja seolah mereka saudara. "Dari mana kalian?" tanyanya basa-basi.

"Lihat laut!" seru mereka penuh semangat.

"Andai di Menteng ada laut seindah di sini, ya," celetuk Arum, ketua relawan, yang menunjukkan hasil foto di ponselnya pada Nindya. "Pantes Mbak betah di sini. Lautnya indah banget!"

"Udah ke Pohon Jomblo?" tanya Nindya. Ia tersenyum melihat wajah-wajah puas para tamunya terhadap keindahan Lamakera.

"Pohon Jomblo?" Faizal, si penggalang dana, segera mencari informasi itu di internet. "Wah, lemot!" keluhnya. Ia menggoyang-goyangkan ponsel, pun mengangkat benda pipih itu ke udara berharap segera mendapat sinyal. "Kok, bisa tahan tanpa internet was-wus di sini, Mbak?" herannya pada Nindya.

Dusk till Dawn [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang