14 | Jebakan

508 64 4
                                    

"Lo kehilangan tujuan pertama, cari tujuan berikutnya."
[Sheli]

Di sudut sofa ruang tengah, Kai melamun cukup lama tanpa mempedulikan tatapan teman-temannya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Di sudut sofa ruang tengah, Kai melamun cukup lama tanpa mempedulikan tatapan teman-temannya. Dua earphone putih menyumbat telinga, seakan memberi tahu siapa pun bahwa ia sedang tidak ingin diajak bicara. Perlakuan kasar Zayn pada Nindya tadi sore membuatnya marah. Namun, kemarahan yang lebih besar justru bersumber dari rasa takutnya untuk menghadapi Zayn.

Kai mengembuskan napas dengan kasar, lalu mengacak-acak rambut basahnya sekuat mungkin. "Bego! Tolol! Lo tolol banget, Kai!" makinya pada diri sendiri. Lupa kalau masih ada banyak orang memperhatikannya.

Daniel berhenti menggunting pita untuk menghias kotak kado. Ia menendang pelan kaki Kai yang masih sibuk mengumpat. "Kenapa, sih?" herannya.

"Ha?" Kai melepas earphone di kedua telinganya karena tidak mendengar suara Daniel. "Lo tanya apa?"

"Lo ini kenapa?"

"Nggak kenapa-kenapa," jawab Kai, bergabung duduk di karpet dan mengambil gunting di tangan Daniel untuk memotong pita. "Bosen hidup," ujarnya kemudian.

"Kai!" Arum memukul bahu Kai sampai lelaki berkaus hitam itu mengaduh. "Dijaga omongannya!"

"Beneran, Rum. Sekarang gue hidup tanpa tujuan. Gue gagal jadi wartawan, ngurus anak orang, pengen hidup sama cewek yang gue suka juga nggak bisa," keluh Kai disertai embusan napas panjang. "Apa lagi yang bisa gue lakuin kalau nggak hidup kayak mumi?"

"Cari tujuan baru, dong," saran Sheli sambil melipat kertas kado. Di depannya sudah ada belasan kotak kado yang besok akan mereka serahkan ke sekolahan setempat dan benda-benda itu lebih menarik untuk dilihat dibandingkan wajah lesu Kai. "Katakanlah lo pengin ke Roma dan lo pernah berjuang melewati jalan mana pun buat sampai ke sana. Tapi, ketika lo beneran nggak bisa ke Roma, apa lo lupa kalau di Italia nggak cuma ada Roma?"

Semua orang menatap Sheli serius. Di kelompok mereka, Sheli serupa ibu yang mudah memberi nasihat dengan kalimat-kalimat yang tidak pernah mereka bayangkan sebelumnya. Perempuan itu dulunya bekerja sebagai freelance content creator di sebuah tabloid remaja ternama di ibukota. Kegemarannya membaca tanpa disangka mampu membius siapa pun yang menjadi lawan bicaranya.

Termasuk sekarang. Meskipun wajahnya terbilang dingin dan jarang tersenyum, pembawannya juga lebih tomboi dibanding Arum yang serba feminim, Sheli memiliki pesona sendiri dalam setiap tutur katanya. Perempuan bergaya rambut ala Sarah Sechan itu pula yang selalu menjadi tujuan teman-temannya ketika membutuhkan saran.

"Oke. Anggap aja lo lupa dan sekarang mau gue ingetin." Sheli menegakkan punggung dan kali ini benar-benar serius hanya menatap ke arah Kai. "Kalau lo memang nggak bisa ke Roma, lo bisa ke Milan, ke Venesia, ke Napoli, ke Paris, London, atau ke mana pun itu. Sama kayak pepatah yang bilang kalau ada banyak jalan menuju Roma, tujuan juga begitu, Kai. Lo kehilangan tujuan pertama, cari tujuan berikutnya."

Dusk till Dawn [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang