Nindya melebarkan senyum ketika melihat Kai melambaikan tangan di seberang jalan kantornya. Seharian sibuk bekerja, ia lupa bahwa ini adalah Jumat dan artinya Kai akan selalu menjemput ke Cikarang lalu mereka pulang ke Jakarta Utara bersama. Selalu seperti itu selama tiga bulan ini sejak ia resmi bekerja. Ia sudah melarang Kai untuk datang, tetapi lelaki itu bersikeras dan tetap datang.
"Anak-anak kebetulan lagi pada di Cikarang. Kamu mau ikut kumpul bentar, nggak?" tanya Kai saat keduanya sudah masuk ke mobil dan mulai bergabung ke padatnya jalan raya.
"Boleh." Nindya mengangguk antusias.
"Nggak capek?"
"Kalau kumpul buat makan-makan, aku siap!"
Kai tertawa dan tangannya refleks terjulur mengusak rambut Nindya. Perasan bahagia itu kembali membuncah sampai ia tidak bisa berhenti tersenyum. Meski ia dan Nindya tidak sepakat untuk menjalin hubungan lagi, tetapi kedekatan di antara mereka sudah menjelaskan semuanya bahwa tidak perlu ada kesepakatan untuk saling menyayangi. "Mit," panggilnya.
"Apa?"
"Kira-kira, aku udah kayak suami kamu belum?"
"Ha?" Nindya menoleh ke kanan.
"Ini. Aku, kan, lagi jemput kamu pulang kerja. Udah kayak suami kamu, kan?"
"Kamu pengin banget jadi suami aku?"
"Iya, dong!" jawab Kai cepat. Sesekali ia menoleh ke kiri, lalu kembali fokus menatap jalanan. "Tapi, kalau kamu nggak mau, nggak apa-apa juga. Kamu berhak buat dapat laki-laki yang lebih baik dari aku. Kan, nggak mungkin kamu mau nikah sama aku yang bahkan nggak punya kerjaan dan gaji tetap."
"Misalnya siapa?"
"Pasti ada cowok di kantor kamu yang potensial buat dijadiin suami."
Nindya menggeleng. "Nggak ada," jawabnya.
"Masa?" Kai mendelik karena tidak mungkin tidak ada lelaki mapan yang pas untuk bersanding di pelaminan dengan Nindya.
"Iya. Karena aku nggak pengin nikah sama salah satu di antara mereka."
"Terus penginnya nikah sama siapa?"
"Sama cowok yang udah berhasil bikin aku pulang ke Salatiga lagi. Sama cowok yang tiap Senin subuh nganterin aku ke Cikarang dan Jumatnya jemput lagi. Sama cowok yang nggak bisa bobok nyenyak kalau nggak sama anaknya. Sama cowok yang lagi duduk di samping aku," jelas Nindya. Ia sudah membulatkan tekad untuk menjawab pertanyaan Kai selama ini bahwa ia setuju kembali menjalin kasih dengan Kai.
"Mit ...." Kai memelankan laju mobilnya. "Aku hampir jantungan kamu ngomong gitu.
Perempuan berkemeja biru muda itu tertawa pelan. "Apa? Kaget kalau aku bisa ngomong blak-blakan masalah hati?" tanyanya.
"Iya," jawab Kai. Ia berusaha sebaik mungkin untuk tetap berkonsentrasi mengemudi karena kalimat panjang Nindya membuatnya ingin segera melamar perempuan di sisinya itu sekarang juga tidak peduli sedang di jalan raya. "Tapi, Mit, aku nggak kaya. Aku nggak bisa kasih kamu uang bulanan tetap. Bahkan, aku nggak bisa bikin pesta nikahan yang besar buat membahagiakan kamu."
"Why not? Bukan pesta nikahan yang aku butuhkan, Kai, tapi kamu. Aku punya pekerjaan sendiri jadi kamu nggak perlu khawatir soal uang bulanan. Nanti sambil jalan, kita sama-sama gandengan tangan buat menjadikan Iyan prioritas. Itu yang aku pikirkan."
"Kok, malah jadi kamu yang ngelamar aku, sih?" Kai sebisa mungkin menyembunyikan rona merah di wajah karena situasi ini benar-benar membuatnya ingin berteriak kencang saking bahagianya. Setiba di kafe dan melihat teman-temannya melambaikan tangan dari teras, ia tidak bisa menahan diri. Ia segera turun dari mobil dan berlarian seperti anak kecil. "Eh, mau tahu nggak?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Dusk till Dawn [Selesai]
Romance1st Winner of EDITOR CHOICE at Author Got Talent 2022 by Penerbit Prospec Media. *** Nindya memutuskan tinggal di Lamakera yang jauh dari kota sejak Kai, kekasihnya, tidur dengan sahabatnya sendiri. Di Lamakera, Nindya membangun bisnis penginapan d...