"Dengerin dan pikirin omongan orang lain ketika mereka membiayai kebutuhanmu."
Bayang-bayang keberadaan Kai di rumah maupun di penginapan masih terlihat jelas di mata Nindya. Lelaki itu sudah berangkat ke Larantuka tadi pagi, tetapi sosoknya seperti hantu bergentayangan setiap kali Nindya mengedarkan pandangan. Senyum Kai, tatapan lembut lelaki itu, aroma parfumnya, bahkan suara gelak tawanya, masih tertangkap jelas oleh seluruh panca indra Nindya.
Perempuan berkaus hitam itu membanting sapu ke dinding. Kepalanya terlalu pening untuk mengusir Kai lagi dari benaknya. Wajah penuh kesedihan Kai saat ia mengantarnya ke dermaga persis seperti ketika ia memergoki lelaki itu berada di kamar hotel bersama Febri. Ia tidak suka melihat Kai bersedih seolah-olah ia yang menyakiti lelaki itu. Namun, sikap Kai yang terlalu ikut campur seperti sore itu membuatnya tidak nyaman.
"Kok, belum selesai?"
Kehadiran Nona menyentak Nindya dari lamunan panjangnya. Perempuan itu mendongak. "Capek," jawabnya.
"Tadi aku bantuin nggak mau!" sungut Nona seraya mengambil sapu dan mulai membersihkan penginapan. "Pasti mikirin Kai, kan?"
"Nggak!" elak Nindya.
"Nin, kamu itu nggak bakat berbohong! Cuma ada satu orang yang bisa bikin mata kamu sendu dan kebingungan kayak gitu."
Nindya berdecak. Agar tidak terlalu larut dalam kegundahan, ia lantas ikut membersihkan penginapan, semata-mata agar Nona tidak memperhatikan raut wajahnya. "Jujur aja, Non, kalau ucapan Kai kemarin agak bikin aku nggak bisa tidur," terangnya.
"Dia bilang apa?"
"Menurutnya, aku nggak beneran nyaman dan baik di sini meskipun aku udah berusaha biar kelihatan baik-baik aja."
Nona berhenti menyapu untuk memusatkan pandangan ke Nindya yang sedang mengelap meja. "Setuju," ujarnya.
Gerakan tangan Nindya berhenti di atas meja, tetapi kepalanya masih menunduk. Ia tidak berani menatap Nona. Sahabatnya itu memiliki sorot mata yang lembut dan menyenangkan. Hanya saja, ketika ada hal yang sangat serius untuk dibicarakan, tatapan mata Nona bisa terlihat lebih tajam dibanding mata elang.
"Aku salut sama perjuangan kamu. Di kampus, kamu bisa menjadi mahasiswa pintar dan teladan. Kamu pandai berkomunikasi. Nggak kayak aku yang pemalu ini. Katakanlah kamu sempat terpuruk karena nggak dapat pekerjaan yang sesuai. Tapi, semenjak kamu di sini, coba dihitung seberapa banyak tawaran pekerjaan yang kamu tolak," ucap Nona. Kali ini ia meletakkan sapu untuk duduk di dekat Nindya.
"Kadang aku berpikir kalau misal nggak pernah ada masalah itu, apa aku bisa seperti ini?" Nindya tidak bisa menyembunyikan air mata yang menyebabkan pandangannya sedikit memburam.
"Nin ...." Nona menepuk lembut bahu sahabatnya itu. "Di mana pun kamu berada, apa pun yang kamu lakukan, aku percaya kalau kehadiranmu akan berguna. Terlepas dari kamu nyaman atau nggak, kamu terpaksa atau nggak, ketika kamu masih mampu bertahan di sini, artinya kamu mau berjuang menghadapai ketidaknyamanan itu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Dusk till Dawn [Selesai]
Romance1st Winner of EDITOR CHOICE at Author Got Talent 2022 by Penerbit Prospec Media. *** Nindya memutuskan tinggal di Lamakera yang jauh dari kota sejak Kai, kekasihnya, tidur dengan sahabatnya sendiri. Di Lamakera, Nindya membangun bisnis penginapan d...