6 | Melepas Impian

609 88 13
                                    

"Kepercayaan dari orang tuanya sempat hilang, jadi dia nggak bisa ke mana-mana kecuali diam di rumah buat bertanggung jawab atas kesalahan yang nggak dia lakukan."

Rombongan tamu yang menginap di Rumah Kita tidak sepenuhnya sukarelawan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Rombongan tamu yang menginap di Rumah Kita tidak sepenuhnya sukarelawan. Arum pernah bercerita bahwa ke sembilan temannya itu hanya suka jalan-jalan, dan kebetulan setuju untuk bepergian bersama. Mereka tidak hanya berjumlah sepuluh, tetapi dalam perjalanan kali ini memang hanya sepuluh yang bergabung.

Arum, Sheli, Indri, Kai, Faizal, dan Daniel, sepakat untuk melakukan kegiatan sosial di mana pun tujuan wisata mereka. Sedangkan empat anggota lainnya yaitu Nanta, Reyhan, Kiki, dan Maya, sebatas ikut perjalanan untuk menikmati pemandangan. Sejak perjalanan ke Bukit Peradaban kemarin sore, perlahan-lahan Maya dan Indri yang jarang berinteraksi kini mulai mendekat. Bahkan Maya berterus terang ikut Nindya menjenguk Fatimah lagi.

Selama berada di rumah berdinding kayu itu, Nindya kerap melihat senyum tipis bercampur kesedihan di wajah Maya. Tatapan sedih itu masih melekat saat keduanya pamit dan Nindya mengajaknya menyusuri pantai sembari menikmati senja. Orang-orang akan takjub melihat kemilau matahari yang cantik di permukaan air laut, tetapi tidak dengan perempuan berkucir kuda di samping kanannya itu.

"Kenapa, Mbak?" tanya Nindya, berusaha terdengar peduli sebab memang khawatir terjadi sesuatu pada tamunya. "Habis dilamar, masa sedih gini."

Maya menggeleng disertai senyum tipis. "Nggak nyangka bakal dilamar," jawabnya.

"Sudah berapa lama pacarannya?"

"Tiga tahunan."

Nindya berhenti melangkah sejenak. Ia mengedarkan pandangan untuk mencari tempat duduk agar lebih nyaman berbincang. Langkahnya menyusuri pasir pantai menuju bebatuan di dekat tanggul dan duduk di sana. Ia menepuk batu di sampingnya agar Maya ikut duduk. "Ada sesuatu yang bikin Mbak Maya nggak percaya dilamar Mas Kiki?" tanyanya. Dalam hati ia merutuk karena terlalu ikut campur masalah pribadi orang asing.

"Iya, ada." Maya terlihat tidak keberatan menceritakan sesuatu. "Orang tuanya tidak merestui kami."

Dahi Nindya mengerut. Cukup terkejut karena Maya ternyata mau berbagi cerita.

"Kista ovarium," celetuk Maya setelah terdiam beberapa saat. Senyumnya mengembang tipis ketika Nindya mendelik. "Ukurannya sudah besar waktu itu, jadi aku sudah menjalani bedah pengangkatan kista."

Tangan kanan Nindya refleks menepuk lembut bahu Maya. "Kamu kuat, Mbak. Semoga nanti Allah tunjukkan jalan yang terbaik," ujarnya bersimpati.

Maya mengangguk. "Dokter memang bilang ada kesempatan buatku bisa hamil, tapi orang tua Kiki terlanjur nggak peduli," jelasnya. Ia mengembuskan napas pelan tanpa melepas tautan jemarinya yang saling menggenggam. "Sejak itu, aku berhenti main bulu tangkis. Kebetulan, aku dan Kiki satu tim. Kiki juga ikut berhenti karena nggak mau aku melepas impian sendirian. Padahal, Kiki waktu itu udah mau seleksi PON."

Dusk till Dawn [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang