BAGIAN SATU

93 44 118
                                    

01. Tuhan, Aku Ingin Selalu Bersamanya

••••

Langit senja kali ini terlihat cantik. Warna merah kebiru-biruan terlihat jelas di ufuk barat sana. Matahari terlihat bersembunyi di balik megahnya awan sore ini. Aku menatap pemandangan di bawah sana dari atas bukit. Angin kencang menerpa wajahku, rasanya sangat sejuk dan nyaman. Sesekali aku memejamkan mata untuk menikmati pemandangan maha indah ini. Tuhan selalu baik padaku, Dia masih memberikanku kesempatan untuk menikmati keagungannya.

"Langit senja kali ini terlihat cantik, sama sepertimu." Aku menoleh pada sumber suara tadi. Pria bermata almond berselimut bulu mata tebal itu terlihat menatap ke atas. Matanya sesekali terlihat mengerjap.

"Aku tak secantik itu, Kak."

Hening. Pria bersurai cokelat itu tak segera membalas sanggahanku. Dia terlihat sedang berpikir dalam diamnya.

Raihan Adinata, namanya. Usianya satu tahun lebih tua dariku. Dia merupakan sahabatku yang paling lama, kami sudah berteman lebih dari sepuluh tahun. Pria berusia 18-an tahun itu berhasil membuatku terpanah. Garis wajahnya yang tegas dengan dihiasi hidung mancung itu selalu berhasil membuat perasaanku terombang-ambing.

"Kamu lebih cantik dari Tasya, Nai."

"Tapi kenapa harus Tasya yang berhasil membuat Kak Rai jatuh cinta?"

Sial! Kenapa aku harus keceplosan di saat seperti ini? Aku tak ingin dia tahu perasaanku, Tuhan.

"Maaf, Kak. Maksudku ...."

Rai diam. Pria beriris cokelat itu masih menunggu ucapanku selanjutnya. Namun, bukannya segera menjelaskan ucapanku, yang ada aku malah mati kutu dibuatnya.

"Kenapa bukan perempuan lain saja?"

Aku melirik ke samping, lebih tepatnya ke tempat Rai duduk. Di sana, Rai terlihat sedang menatapku intens. Semoga dia tak merasa aneh dengan tingkahku hari ini.

"Perempuan lain? Kamu gitu, maksudnya?"

Sial!

Aku menggigit bibir bawahku dalam. Kedua tanganku meremas tak tenang di atas pangkuan. Aku tak ingin jika Rai tahu apa yang sedang aku rasakan saat ini.

"Bukan."

Suara tawa terdengar memenuhi indra pendengaranku. Lihat, bahkan pemuda itu masih bisa tertawa di saat aku sedang merasa patah hati!

Suara tawa itu kali ini terdengar seperti sedang mengejekku. Aku memang tak pantas untuk dicintainya. Nai bukanlah Tasya. Naila Revanka tak bisa menjadi seorang Tasya, perempuan yang berhasil membuat seorang Raihan jatuh cinta sedalam-dalamnya.

"Tasya memang tak secantik kamu, Nai. Tapi, Tasya orang baik. Dan aku menyukai kebaikan-kebaikannya."

Mendengar penjelasan dari Rai membuat dadaku terasa seperti dihantam ribuan peluru. Rasanya sungguh sakit ketika mendengar pujian dari orang yang kita sayang yang ditujukan pada perempuan lain. Jika bisa, aku ingin menukar diriku dengan Tasya.

"Aku nggak baik, gitu?" Aku berusaha terlihat seperti seorang Naila Revanka di depan Rai. Bersikap kekanak-kanakkan dan tak mengenal cinta.

"Nai lebih dari sekedar baik." Rai mengacak rambut panjangku asal. "Nai itu baaiiik banget!"

Senyuman simpul langsung terukir di wajahku. Aku berusaha bersikap normal di depan Rai. Bersikap seolah-olah tak menaruh hati padanya.

"Jangan pergi ya, Nai!" Permintaan itu terdengar seperti paksaan di telingaku. Suara Rai terdengar bergetar ketika mengucapkannya. Apa dia sedang bersedih?

Aku menatap Rai lamat, sebelum berkata. "Aku nggak akan pergi, Kak. Bahkan, ketika tubuhku udah terbaring di tanah aku nggak akan pergi dari Kak Rai."

"Nai bakal menemani Rai dari atas sana," lanjutku seraya menunjuk ke angkasa.

Bulir air mata terjatuh tepat ketika aku menyelesaikan ucapanku. Entah mengapa, tiba-tiba dadaku terasa sangat sesak. Udara di sekitarku tiba-tiba menghilang. Tak hanya itu, rasa perih turut menjalar ke dada.

"Jangan bicara seperti itu, Nai!" Aku menatap Rai yang sedang menahan tangis. Mata almond itu kini mulai memerah dengan dihiasi air yang mengumpul di pelupuk.

"Kamu pernah janji sama aku mau buat episode kita lebih panjang lagi, kan?"

Aku tersenyum singkat. Itu mauku, Kak. Tapi, kalo Tuhan berencana lain bagaimana?

Elegi NailaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang