11. Angkasa Bercerita
••••
Sudah satu purnama berganti sejak perbincanganku dengan Angka terjadi. Selama itu juga aku belum pernah bertemu dengannya. Angka tiba-tiba menghilang tanpa kabar.
Ada sebersit perasaan aneh yang menjalar ke hati ketika tak bersamanya. Entah apa itu. Aku tak tahu. Rasanya seperti ada yang kurang, tetapi lebih tenang dari sebelumnya.
Selama itu juga aku menunggu kabar tentang Rai. Rai, pemuda itu juga tak pernah kutemui selama ini. Dalam diam, aku selalu menanti kehadirannya kembali. Ingin memeluknya, bercengkrama bersama, dan kembali menikmati semua rasa bersama.
Aku mendongakkan kepala menatap langit malam ini. Langit kali ini terlihat cerah dengan bulan sabit yang menemaninya. Di atas sana juga terlihat himpunan bintang yang membentuk konstelasi. Langit malam saat ini terlihat sangat cantik.
Udara dingin menusuk hingga ke tulang. Kueratkan jaket seraya menggosok-gosok lengan untuk menghangatkan tubuh. Dengan mata terpejam, aku mencoba untuk merapalkan do'a.
Tuhan, aku ingin bintangku kembali. Jika bisa, tolong pertemukan kami. Aku merindukannya. Sungguh.
Kira-kira seperti itu isi do'aku saat itu. Ingin kembali bertemu Rai, dan mengulang kenangan indahku bersamanya.
Semenjak kejadian beberapa bulan yang lalu penyakitku semakin jarang kambuh. Aku belum pernah merasa sesak di dada, rasanya sangat tenang. Namun, semenjak saat itu juga Rai belum pernah kutemui. Rasanya sakit dan kecewa. Ingin marah, tetapi tak bisa.
Apa ini semua ada kaitannya dengan hilangnya Rai?
"Tidak, Nai."
Aku menolehkan kepalaku ke samping. Di sana, Angka sedang berdiri sembari tersenyum manis. Di tangannya terdapat setangkai bunga edelweis yang terlihat sangat cantik. Entah darimana dia bisa mendapatkan bunga keabadian itu.
"Ini semua nggak ada hubungannya sama hilangnya Rai." Angka mengambil duduk di sampingku. Pria itu mengulurkan bunga edelweis yang dibawanya tadi padaku.
"Kamu cenayang?" Aku menerima bunga yang diulurkan Angka padaku, kemudian memeluknya erat.
Tanpa menjawab, Angka hanya tersenyum simpul.
"Ka ...?"
"Kenapa, Nai?" Angka menatapku dalam dengan bibir melengkung sempurna.
"Kamu sebenarnya siapa?" Aku tak mengerti dengan semua alur cerita ini. "Kenapa kamu tiba-tiba ada di sampingku?"
"Aku manusia, Nai. Manusia biasa."
"Ka, tolong jelasin ini semua!"
"Kamu penasaran dengan semua ini?"
Aku hanya menganggukkan kepala singkat. Dalam cerita ini, aku terlihat seperti orang bodoh. Di saat semuanya tahu tentang alur ceritanya, sedangkan aku adalah satu-satunya tokoh yang tak mengetahuinya.
"Aku bukan malaikat, Nai. Aku hanya manusia biasa yang ditugaskan untuk menjagamu, Nai."
"Ditugaskan?"
Lengkungan di bibir Angka terlihat mengendur. Senyuman manis yang sedari tadi terpatri indah di wajahnya kini telah luntur, tergantikan dengan tatapan kosongnya.
"Cepat atau lambat kamu pasti akan tahu tentang rahasia kita, Nai. Dan aku enggak mau memperlambat semuanya."
"Rahasia kita? Kamu sama kak Rai nyembunyiin apa dariku, Ka?"
Angka meraih tangan kananku, kemudian menciumnya dalam. "Rai masih hidup, Nai."
Mendengar penjelasan Angka membuatku bisa bernapas lega. Setidaknya aku masih bisa menemui Raihan, meski aku sendiri tidak tahu kapan waktunya.
"Tapi di balik ini semua ada seseorang yang rela berkorban untuk membuatmu hidup." Suara Angka terdengar bergetar. Matanya memerah, menahan lelehan air yang mengumpul di pelupuknya.
"Siapa, Ka?"
Angka mengembuskan napasnya panjang, sebelum berkata. "Tasya."
Bagai disambar listrik puluhan volt, tubuhku langsung menegang setelah mendengar ucapan Angka. Ini semua hanya mimpi saja, kan? Aku tidak mungkin membunuh seseorang untuk bisa bertahan hidup lebih lama lagi. Aku sedang tertidur, kan?
KAMU SEDANG MEMBACA
Elegi Naila
Short Story"Langit senja kali ini terlihat cantik, sama sepertimu." ••• "Kak, apa kamu tahu hal terindah yang pernah aku lihat selama ini?" "Memangnya apa?" "Senyuman Kak Rai." ••• "Aku takut episode kita terlalu singkat, Kak." "Kalo gitu kita buat lebih panja...