BAGIAN SEPULUH

31 23 53
                                    

10. Dimulai Kembali

••••

Dingin.

Udara malam ini terasa sangat dingin. Bulu kudukku mulai berdiri untuk beradaptasi dengan dinginnya malam ini. Aku mendongakkan kepala untuk menatap langit di atas.

Luas dan gelap. Langit malam ini terlihat sangat cerah, dan penuh dengan cahaya bintang. Bulan sabit rusa terlihat mengagumkan dari atas sana. Di antara bulan sabit, sekelompok bintang terlihat berhubungan membentuk suatu konstelasi.

"Bulan malam ini terlihat sangat cantik, Kak." Aku tersenyum di antara rasi bintang crux.

Crux, himpunan bintang yang berbentuk seperti salib itu terlihat jelas di langit selatan. Cahayanya terlihat paling terang di antara bintang lain. Mungkin jika Rai berada di sini, aku akan bercerita panjang lebar tentang rasi ini padanya.

Rai. Pemuda itu tak pernah kutemui semenjak kejadian tiga bulan yang lalu. Selama itu aku mengharapkan kehadirannya di sini.

Aku merindukannya. Sungguh.

Mungkin Rai adalah satu-satunya manusia yang ingin kutemui setelah mama selepas masa kritisku. Namun sayang, pemuda itu sangat sulit untuk kutemui.

"Nai?" Suara berat itu menginterupsi lamunanku tentang Rai.

Aku membalikkan badan untuk menatap seseorang yang berada di belakangku. Di sana, seorang laki-laki yang sebaya denganku terlihat sedang tersenyum manis. Garis wajah tegasnya mengingatkanku pada Rai. Mata teduhnya mengingatkanku pada tatapan Rai. Hidungnya, bibirnya, bentuk tubuhnya selalu mengingatkanku pada memori masa lalu. Pemuda itu terlihat seperti duplikat Raihan Adinata.

"Pulang, ya?" Suara lembutnya mengalun merdu di pendengaranku. Pemuda bersurai hitam itu melangkahkan kakinya mendekatiku.

"Nanti, Ka."

Namanya Angkasa Bumantara. Namun, dia lebih suka dipanggil Angka. Entah datang darimana, pemuda itu tiba-tiba selalu berada di sampingku. Apa ini semua bagian dari rencana Rai? Apa dia ingin Angka menggantikan posisinya di hidupku?

Angka melangkahkan kakinya mendekatiku, kemudian mendudukkan tubuhnya di sampingku. Pemuda berkulit tan itu menatap rasi crux lamat.

"Bintangnya cantik ya, Nai?"

Aku hanya menganggukkan kepala sekali.

"Bintang yang paling terang ada empat ya, Nai?"

Aku kembali menganggukkan kepala.

Angka terlihat tersenyum simpul, sebelum berkata. "Itu yang di atas kamu, di kanan Rai, di kiri aku, di baw--"

"Aku manusia, Ka. Bukan bintang," selaku datar. Aku tidak suka dibandingkan oleh suatu benda yang terlihat menarik. Bukan karena apa, tapi aku tidak suka dibanding-bandingkan.

Tanpa menjawab, Angka hanya tersenyum simpul. Senyumannya terlihat sangat manis. Mungkin jika tak terlanjur jatuh cinta pada Rai, aku akan terpesona dengannya. Namun sayang, aku lebih dahulu bertemu dengan Rai.

"Nai, hidup itu perihal temu dan pisah 'kan?"

"Kenapa, Ka?" Aku menatap Angka lamat.

Angka terlihat tersenyum lebar. Namun, tatapannya terlihat kosong.

"Dunia nggak harus tunduk sama kita, Nai."

"Aku tahu, Ka."

"Terkadang, ada beberapa hal di dunia ini yang nggak sesuai sama ekspetasi kita."

Menurutku, apa yang dikatakan Angka benar. Tapi, aku sulit menerima perkataannya. Mungkin dari sekian tokoh di cerita ini, aku adalah satu-satunya tokoh yang egois. Aku menginginkan semua hal di dunia ini sesuai dengan harapanku. Padahal dunia ini luas, tak semuanya harus sesuai dengan harapanku.

"Nggak apa-apa, Nai!" Angka mencoba meraih tanganku. Namun, aku segera menarik tanganku. "Masih banyak hal di dunia ini yang harus kita kejar, jangan berpacu pada satu hal yang sudah jelas sia-sia!"

"Aku tahu, Ka ...."

Tuhan, aku minta pada bagian ini untuk menghadirkan Rai kembali. Sudah lama aku mengharapkan kehadirannya di sampingku. Sederhana saja, aku ingin duduk bersama dan berbincang dengannya lebih lama lagi. Bisa ya, Tuhan?

Elegi NailaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang