BAGIAN EMPAT

32 23 47
                                    

04. Aku Minta Dia Ya, Tuhan?

••••

Aku menutup kembali novel yang selesai kubaca. Mataku menatap dua gelas latte machiato yang terhidang di atas meja. Bau harum espresso tercium bersamaan asap yang mengepul dari kedua gelas itu. Sudah beberapa detik yang lalu kopi ini sampai di mejaku, tapi masih belum kusentuh sama sekali.

Menurutku, kopi bisa membuat masalahku sedikit terlupakan. Aroma khasnya mampu membuatku merasa tenang. Mungkin di dunia ini yang bisa membuatku bahagia selain Rai adalah kopi, hujan, dan novel. Aku menyukai keempat hal tersebut.

Bel terdengar bersamaan dengan tanganku yang meraih salah satu gelas kopi di depanku. Tanpa pikir panjang, aku segera menyeruput latte machiato pesananku tadi. Rasanya sangat manis dan lembut di lidahku. Mungkin karena perbandingan espresso dan susu yang lebih banyak susu.

"Kopi lagi?" Suara berat itu menginterupsi gerakanku. Aku menatap seseorang yang berdiri di hadapanku sekilas. Ralat, ternyata bukan satu, tetapi dua. Ya, sepasang anak manusia sedang berdiri di hadapanku dengan tatapan mengintimidasi.

Aku menatap seorang gadis sebaya denganku malas. Gadis bersurai hitam lebat itu tengah menatapku penuh intimidasi. Aku tak merasa takut sama sekali dengan tatapan penuh ancaman itu.

"Kenapa?" Aku meletakkan gelasku kembali pada tempatnya. "Ini bukan urusan kamu, ya!"

"Ini jelas urusan aku, Nai!" Pemuda berlensa cokelat itu menatapku nyalang. Di sorot matanya tersirat akan sebuah kemarahan besar.

"Urusan kamu Tasya, bukan ak--"

"Kamu adik aku, Nai!" Jawaban darinya itu cukup membuatku sadar diri. Hubungan kami sebatas itu, mungkin selamanya tak akan pernah berubah.

Tanpa membalas, aku hanya tersenyum tipis. Sementara aku merasa kecewa pada Rai, Tasya justru merasa sebaliknya. Gadis itu berusaha menyembunyikan raut bahagia di balik wajah tenangnya. Mungkin jika tidak ada Rai, aku sudah mencakar habis wajah perempuan itu.

"Iya," balasku dengan diiringi tawa hambar. Kenapa rasanya sakit sekali, Tuhan?

"Biar aku yang minum ini!" Dengan sorot penuh amarah, Rai mengambil gelas yang berisi latte machiato pesananku tadi. Pemuda itu meneguk habis minumanku dalam sekali teguk.

Sementara Tasya, gadis itu hanya bisa bergeming di samping Rai. Dilihat dari ekspresi mukanya, dia ingin marah padaku. Namun, ditahannya sebisa mungkin untuk menjaga image di depan Rai.

"Kita pul--"

"Aku nunggu Nai pulang, Sya." Wajah Tasya berubah mendung setelah mendengar balasan Rai.

Di dalam cerita ini mungkin akulah penjahatnya. Namun, aku juga tak ingin menjadi tokoh antagonis dalam cerita siapapun. Aku hanya memerjuangkan hakku untuk bahagia saja, meski hal itu akan menggadaikan kebahagiaan orang lain.

Jahat? Terserah kalian mau bilang apa. Aku hanya ingin bahagia di sisa hidupku saja. Nai hanya ingin berada di samping Rai saja, tanpa ada pihak ketiga. Jika boleh, aku ingin selalu berada di samping Rai untuk selamanya. Aku minta dia ya, Tuhan?

Elegi NailaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang