BAGIAN TUJUH

36 26 47
                                    

07. Dandelion

••••

Bau petrikor menyambut penciumanku ketika baru saja melangkahkan kaki keluar dari area parkir sekolah. Beberapa genangan air masih tersisa dari hujan subuh tadi. Dengan hati-hati, aku melangkah menuju gedung utama sekolahan.

Rai melakukan hal yang sama di sampingku. Sejak turun dari sepeda motor, pemuda itu terus menggenggam erat tanganku. Takut jika aku hilang, katanya. Padahal aku sudah hafal dengan denah gedung ini sejak setahun yang lalu.

"Kalo Tasya lihat pasti cemburu, Kak." Aku menyoba untuk meregangkan tanganku. Namun, sia-sia. Rai terus mengeratkan genggamannya ketika aku mulai meregangkan kaitan.

"Tasya pasti ngerti kok, Nai." Rai meyakinkanku jika perempuannya tak akan terbakar api cemburu. Bukankah semua perempuan merasa jealous jika melihat prianya bergandengan dengan perempuan lain?

"Kamu selalu bilang gitu, Kak." Terkadang aku juga bisa merasa muak dengan hubungan ini. Aku lelah selalu berada di pihak penengah. Jika bisa, aku ingin memiliki Rai sepenuhnya.

Satu-dua detik Rai tak membalas ucapanku. Pria itu malah asyik dengan ponsel yang berada di tangan kanannya. Entah apa yang sedang dimainkannya saat ini, tetapi pria itu terlihat mulai tenggelam dengan dunianya.

"Mungkin aku kalo jadi Tasya akan marah, Kak."

"Itu kamu, Nai. Bukan--"

"Bukan Tasya!" Aku mengerucutkan bibirku kesal. Sudah berjuta kali aku membandingkan diriku sendiri dengan Tasya. Dan perbandingan itu berakhir dengan diriku yang selalu merasa penuh kekurangan.

Aku sadar, di dunia ini pasti ada kelebihan dan kekurangan. Tak ada sesuatu yang penuh dengan kelebihan, atau sebaliknya. Namun, sebagai manusia biasa aku sering merasa insecure dengan apa yang aku miliki. Seringkali membandingkan diri sendiri dan orang lain, dan berakhir dengan rasa insecure yang terus bertambah.

"Nai," panggil Rai seraya memasukan ponselnya ke saku kemejanya kembali. Pemuda itu melirikku sekilas, sebelum berkata. "Cukup menjadi diri sendiri, dan buktikan jika kamu bisa menjadi lebih baik dari orang lain!"

"Aku udah berusaha, Kak. Tapi ... gagal," balasku diiringi embusan napas panjang. Aku meremas jemariku yang berada di genggaman Rai kuat. Ingin rasanya aku meluapkan semua emosiku dalam teriakan.

"Kamu kurang berusaha lagi, Nai." Ucapan itu keluar dengan tenang dari bibir Rai.

"Sekeras apa aku harus berusaha, Kak?"

Rai terdiam. Rahang tegas itu kian mengeras dengan genggaman tangan yang mulai mengerat. Pria itu mengembuskan napasnya lelah beberapa kali.

"Kak Rai nggak bisa jawab, kan?"

"Nai ...."

"Kenapa, Kak?"

"Apa kamu pikir deng--"

"Rai?" Suara lembut itu menginterupsi ucapan Rai.

Kami --aku dan Rai menatap ke samping. Di sana, Tasya dan seorang sahabatnya berdiri dengan bibir yang melengkung sempurna.

"Kenapa, Sya?" Nada bicara Rai berubah 180° ketika berhadapan dengan Tasya.

Rona merah terbit di kedua pipi tirus Tasya. Gadis itu memainkan jemarinya dengan ujung kemeja. Sementara Tasya sedang salah tingkah, sahabatnya terlihat lebih tenang.

"Nanti malam ...." Gadis itu menundukkan kepalanya dalam sebelum melanjutkan ucapannya. "Jadi dinner, kan?"

"Aku pernah janji soal itu ke kamu, ya?"

Tanpa menjawab, Tasya hanya menganggukkan kepalanya singkat.

"Jam berapa, Sya?"

Binar bahagia tercetak jelas di raut wajah Tasya setelah mendengar balasan Rai. Gadis itu segera meraih tangan sahabatnya, kemudian menggenggamnya erat.

"Jam tujuh, bisa 'kan?"

Dadaku berdesir perih ketika mendengar perbincangan Rai dan Tasya. Sebisa mungkin aku menyoba untuk menutup kedua telingaku dari obrolan kali ini. Namun, apa yang kuusahakan sia-sia. Aku bisa mendengar semua perbincangan mereka dengan sangat jelas.

"Jam tujuh, ya--"

"Kak, kemarin aku ada tugas Matematika. Bisa ajarin, nggak?" Rai, Tasya dan sahabatnya langsung mengalihkan atensinya padaku. Ada sebuah rasa yang ingin kusembunyikan dari mereka semua.

"Kapan dikumpulinnya?" Rai menatapku serius.

"Besok. Aku lupa buat ngasih tau Kak Rai," alibiku tak sepenuhnya bohong.

Aku menatap Rai sekilas, berusaha untuk mencari tahu sesuatu yang sedang dirasakannya. Lensa cokelat Rai berputar cepat, dahinya bergelombang dalam. Pemuda itu terlihat seperti sedang memikirkan sesuatu.

"Sya," ucapnya lembut. Rai menatap kekasihnya ragu, sebelum berkata. "Maaf ya, nanti malam aku nggak bis--"

"It's okay," potong Tasya cepat. "Lain kali kamu harus nepatin janji ya, Rai?"

Ada sebersit perasaan bersalah yang mulai menyelimuti perasaanku ketika menatap raut muka Tasya. Genangan air mulai mengumpul di pelupuk matanya. Rona merah yang sedari tadi mengumpul di kedua pipinya kini mulai menjalar ke seluruh wajahnya. Gadis itu mengusap kedua matanya seiring dengan rahang yang mulai mengeras.

"Aku pergi dulu, Rai," pamitnya masih bisa tersenyum tulus.

Elegi NailaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang