06. Dialog Aurora
••••
Dialog kali ini terjadi secara singkat. Mungkin topik kali ini hanya persoalan hubungan kami --lebih tepatnya aku, Rai, dan Tasya. Aku tak ingin berpikir terlalu keras untuk hal itu. Berpikir soal si pihak ketiga membuatku merasa kecewa. Mungkin bagi sebagian dari kalian berpikir jika akulah si pihak ketiganya, bukan? Tapi, aku berpendapat sebaliknya. Aku bukan pihak ketiga di antara Rai dan Tasya. Aku datang ke hidup Rai lebih awal dibanding Tasya.
Selepas membicarakan Tasya, kami kembali dengan isi pikiran masing-masing. Dalam diamku masih berpikir soal kehadiran Tasya di antara hubunganku dan Rai. Mungkin jika tanpa gadis itu, kehidupanku akan mendekati kata sempurna. Aku tetap menjadi perempuan satu-satunya dalam kehidupan Rai.
Perempuan satu-satunya? Iya, tentu saja. Ibu Rai sudah lama pergi meninggalkannya sejak Rai masih balita. Pemuda itu hanya tinggal bersama ayahnya saja sejak kejadian itu. Ayah Rai tak pernah menikah lagi sejak kejadian belasan tahun silam itu. Pria paruhbaya itu memilih hidup bersama anak semata-wayangnya saja. Meski begitu Rai selalu menghargai semua perempuan.
"Pulang sekarang?" Suara Rai membuyarkan lamunanku tentang masa lalunya. Aku menolehkan kepala untuk menatapnya, kemudian menganggukkan kepala singkat.
Rai beranjak berdiri. Dengan kedua tangan, pemuda itu membersihkan bagian belakang celananya yang terkena pasir putih. Setelah selesai dengan urusannya, Rai mengulurkan tangan kanannya untuk menarik tubuhku berdiri.
Menurut. Aku membalas uluran tangan Rai, dan berusaha untuk berdiri. Setelah berdiri, kami berjalan bersisian untuk meninggalkan pantai ini. Sebelum benar-benar pergi, aku menatap kembali pantai di hadapanku itu. Ditutupi pulau berbatu yang dipenuhi tumbuhan, pantai berpasir ini terlihat sangat mengagumkan.
Aku selalu bersyukur bisa tinggal di kota ini. Kota yang terkenal dengan buah apelnya ini merupakan kota terbesar ke-12 di Indonesia. Banyak pusat perbelanjaan dan pariwisata yang membuat kota ini tak pernah sepi. Namun meski begitu, kota ini masih memiliki tempat wisata bernuansa alam. Pantai ini dan beberapa bukit, bahkan gunung contohnya.
•••
Mobil klasik berkelir biru melaju kencang membelah jalanan beraspal. Lagu yang dinyanyikan musisi era 90-an mengalun merdu menemani perjalanan kami. Tak ada perbincangan lagi di sela-sela lagu lawas itu. Semuanya diam dan menikmati perjalanan kali ini.
Rai memang menyukai sesuatu hal yang klasik. Mungkin bagi beberapa orang, hal klasik merupakan hal kuno dan telah hilang ditelan jaman. Namun tidak bagi Rai, pemuda berusia 18-an tahun itu sangat menyukai hal klasik. Baginya ada suatu seni tersendiri di dalam barang kuno tersebut.
"Kamu kalo nggak suka bisa ganti lagunya, Nai!" Mata Rai masih menatap jalanan di depannya itu tajam.
"Aku suka semua hal tentang kamu, Kak."
"Bukankah lebih seru dan segar lagu Korea, Nai?"
Aku mengangguk membenarkan ucapan Rai menurut pendapatku. Sebagai K-pop lovers, aku memang menyukai lagu-lagu yang dinyanyikan idol K-pop. Tapi aku tak membantah jika lagu klasik ini enak didengar. Bahkan, saat ini aku mulai tenggelam dalam irama lagu yang mengiringi perbincangan kami saat ini. Sudah kukatakan tadi, aku menyukai semua hal tentang Rai. Atau lebih tepatnya, aku belajar untuk menyukai semua hal yang berhubungan dengan Rai.
"Ini aja, Kak. Aku juga suka sama musiknya," balasku sambil menatap jalanan dari jendela samping.
Hening. Rai tak membalas ucapanku. Pemuda berambut comma hair itu menatap jalanan di hadapannya dengan fokus. Rai memang sulit diganggu ketika berkendara. Apa yang dilakukan olehnya itu memang benar, tetapi kadang hal itu membuatku kesal. Aku memang tak suka diabaikan, seperti saat ini contohnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Elegi Naila
Short Story"Langit senja kali ini terlihat cantik, sama sepertimu." ••• "Kak, apa kamu tahu hal terindah yang pernah aku lihat selama ini?" "Memangnya apa?" "Senyuman Kak Rai." ••• "Aku takut episode kita terlalu singkat, Kak." "Kalo gitu kita buat lebih panja...