BAGIAN TIGA

45 26 56
                                    

03. Aku Minta Dia Ya, Tuhan?

••••

Tiing!

Suara bel langsung terdengar begitu aku baru saja melangkahkan kakiku ke dalam kafe. Kaki pendekku melangkah menuju ke salah satu bangku yang berada di sudut ruangan. Setelah mendudukkan tubuhku di bangku sudut ruangan, aku segera mengambil sebuah novel yang kubawa dari rumah.

Mataku mengamati setiap tulisan yang tertera di atas kertas. Di dalam buku berhalaman seratus lembar lebih ini terdapat banyak kata-kata yang membuatku tertarik. Aku sengaja menandai setiap quotes yang membuatku tertarik.

"Mau pesan apa, Kak?" Aku menatap seorang waitress yang sedang berdiri di depanku. Seorang perempuan berusia sekitar 25-an tahun itu menatapku dengan seulas senyuman lembut.

"Latte machiato dua," balasku dengan seulas senyuman yang tak kalah hangat dari perempuan di hadapanku tadi.

Waitress tadi mencatat pesananku di atas secarik kertas. Setelah selesai dengan tugasnya, dia segera beranjak pergi meninggalkanku sendirian.

Selepas kepergian perempuan tadi, aku segera memejamkan mata sesaat. Tanpa dikomando, tiba-tiba bayangan tentang Rai terputar jelas di luar kepalaku. Mungkin jika pemuda itu tahu apa yang kupesan saat ini, dia akan marah dan terus mengomel padaku tanpa henti.

Rai selalu bersikap perhatian padaku. Tak hanya bualan kata, tetapi sikapnya juga menunjukkan sebuah kepedulian padaku. Mungkin jika papa masih ada, Rai adalah laki-laki kedua yang menyayangiku di dunia ini. Tapi sayang, papa lebih dahulu pergi tanpa bersabar untuk menungguku lebih lama lagi.

"Kamu minum kopi lagi?" Pertanyaan Rai kala itu langsung terputar jelas di luar kepalaku. Aku ingat sekali dengan ekspresi mukanya saat itu. Pemuda itu terlihat begitu cemas ketika melihatku sedang meneguk segelas kopi hitam hingga tandas.

Tanpa menjawab, aku hanya menatap Rai santai. Tak ada sekelebat perasaan bersalahku saat itu.

"Jantung kamu gimana, Nai?" Suara cemas Rai masih bisa aku ingat dengan sangat jelas.

"Emang jantung aku kenapa, Kak?"

"Jantung kamu--"

"Aku baik-baik aja, kok. Nggak perlu kasihani aku seperti itu, aku bisa jaga diri aku sendiri!" Nada bicaraku meninggi secara refleks. Aku benci dengan seseorang yang selalu menganggapku lemah dan tak berdaya. Aku bukanlah anak kecil yang perlu dikasihani seperti itu.

Aku tersenyum kecut kala mengingat kejadian waktu itu. Mungkin Rai sama kalutnya dengan waktu itu ketika melihatku sedang memesan dua gelas latte machiato. Tapi, ini semua bukan sepenuhnya salahku. Aku tak mungkin menyakiti diri sendiri tanpa sebab. Katakan, Rai turut andil dalam hal ini!

Kenapa Rai turut andil dalam hal ini? Pertama, pemuda itu selalu bersikap seolah-olah akulah tokoh utama dalam ceritanya. Tapi, kenyataannya salah. Aku hanyalah tokoh pendukung dalam ceritanya. Kedua, pemuda itu selalu membuatku merasa spesial. Namun, ternyata bukan aku seseorang yang telah menguasai hatinya. Pemuda itu terlalu pintar besandiwara di hadapan banyak orang.

Kalian mau bilang aku bucin? Iya. Tapi, asal kalian tahu, aku tidak ingin menjadi seperti ini. Aku ingin hidup normal selayaknya manusia pada umumnya. Aku benci dengan diriku sendiri. Jika bisa, aku ingin menyetel diriku supaya menjadi lebih baik lagi.

Sial!

Kenapa aku harus bersedih ketika menyeritakan ini semua. Bodoh sekali aku, harus terjebak dengan semua ini. Tapi ini nyata. Dan akulah satu-satunya orang yang membuat diriku terjebak dengan ini semua.

Elegi NailaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang