BAGIAN SEMBILAN

34 25 58
                                    

09. Menuju Akhir

••••

"Aku akan mencintai Tasya dengan caraku sendiri."

Kakiku mengikuti sumber suara tersebut. Semakin lama aku semakin bisa mendengar suara Rai dengan jelas. Suara berat nan dalam itu mulai terdengar jelas dari bawah tangga. Tepat di bawah tangga, aku bisa melihat Rai berbincang dengan sahabat Tasya.

Raut muka pemuda itu terlihat serius ketika mengeluarkan sepatah kata demi kata. Mata teduhnya menatap tajam si lawan bicara dengan kedua tangan yang mengepal di samping tubuhnya.

"Dengan cara menghancurkan hatinya?" Rania tersenyum miring dengan menatap remeh Rai.

"Menghancurkan hatinya?"

"Kamu sadar nggak, sih, dengan apa yang kamu lakuin sekarang?"

Aku bisa mendengar dengan sangat jelas pembicaraan mereka. Dan aku tidak bodoh, aku memahami arah pembicaraan Rai dan Rania. Pembicaraan mereka mengarah pada hubungan kami --aku, Rai, dan Tasya. Sebagai sahabat, mungkin Rania akan membela penuh Tasya.

"Tindakan kamu udah melukai Tasya, Rai!"

"Maksud kamu?"

Bodoh!

Rai sangat bodoh jika tak mengerti maksud ucapan Rania. Perlakuan spesial Rai padaku bisa melukai hati Tasya. Sebagai seorang kekasih, Tasya pasti merasa cemburu padaku.

"Kamu tahu, sudah berapa ratus rasa sakit yang dia pendam demi bisa mempertahankan hubungan kalian?" Rahang Rania kian mengeras bersamaan dengan kedua tangan yang semakin mengepal. Dari persembunyianku, aku dapat melihat buku-buku tangannya yang semakin terlihat jelas.

"Tasya selalu menahan rasa cemburunya ketika melihat kamu lebih mementingkan Nai, Rai!"

Rai hanya bergeming di tempatnya.

"Sebagai sahabat, aku cuman ingin kebahagiaan Tasya, Rai ...." Rania menatap Rai dengan mata berair. Aku dapat merasakan sebersit rasa kecewa di hatinya.

"Kamu punya dua pilihan ...." Rania mulai mengusap air matanya, "Lepaskan atau perbaiki!"

Setelah mengatakannya, Rania segera beranjak dari tempatnya. Ada sebersit rasa iri dalam benakku ketika melihat pengorbanan Rania untuk sahabatnya. Apakah sebahagia itu mendapat seorang sahabat perempuan?

Aku menyentuh dada kiriku. Tiba-tiba, pasokan udara di sekitarku mulai menipis. Dadaku mulai terasa sesak bersamaan dengan air mata yang mulai luruh. Rasanya sakit sekali.

Aku ingin segera mengakhiri semua penderitaan ini. Aku tak ingin merasa sakit sendirian. Jika bisa, aku ingin membagi semua perasaan ini kepada seseorang. Ingin menikmati semua rasa ini bersama seseorang yang bisa memahami diriku.

Aku egois? Jika itu pendapat kalian, aku hanya bisa mengiakan. Aku sadar, aku tak bisa membungkam semua mulut manusia di dunia ini. Tapi, aku bisa menutup kedua telingaku untuk tak mendengar semua ucapan kalian.

Tuhan, rasanya sakit sekali. Dadaku semakin sesak. Tanda apa ini semua? Apa kematianku semakin dekat, Tuhan?

Aku mencoba untuk menenangkan diriku sendiri. Semakin aku terpejam, rasanya semakin menusuk ke jantung. Apa aku akan mati setelah ini?

"NAI!" Suara Rai terdengar samar di pendengaranku bersamaan dengan rasa sesak yang kian menjalar dadaku.

Mataku terpejam. Entah untuk sementara, atau selamanya. Bahkan, aku saja tak tahu. Mungkin untuk saat ini, atau sampai nanti aku hanya bisa mengandalkan mujizat Tuhanku saja.

Elegi NailaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang