meskipun katanya ia tidak memiliki penyakit apapun, vania cukup sadar bahwa kondisi tubuhnya jauh lebih lemah dari remaja seumurannya.
seperti saat ini, pantulan cermin wastafel menampilkan wajah pucatnya serta darah segar yang terus mengalir dari hidungnya. padahal beberapa menit yang lalu ia masih segar dan tidak merasa sakit sama sekali, namun sekarang kepalanya terasa berputar bahkan untuk tetap berdiri saja ia harus berpegang erat pada tepi wastafel toilet putri.
"eh, lo kan... nisa?" vania menoleh dengan lemah, disampingnya ada acha yang menatapnya khawatir.
"cha.. acha... tolong gue sakit—" setelah dengan susah payah mengucapkan kalimat itu, vania kehilangan kesadarannya.
yang terakhir ia ingat adalah wajah panik acha serta teriakan gadis itu memanggil nama belakangnya, "NISA!"
_________
tirai uks tersibak dengan sangat kencang menimbulkan bunyi berisik yang cukup membuat acha kesal.
"astaga, vania... lo kenapa lagi sih, anjir!" panik aiden mendapati sahabat kecilnya itu berbaring tanpa kesadaran untuk kesekian kalinya di ranjang uks.
awalnya aiden tidak menyadari kehadiran acha yang duduk di samping ranjang, dan awalnya juga acha tidak ingin kehadirannya disadari oleh cowok itu.
namun, ternyata ia malah terjebak antara bosan dan bisu.
"gue manggil lo gara-gara lo temen sebangku nisa, tapi kayaknya kalian lebih dari teman sebangku. untung deh gue manggil lo." acha pun membuka suara untuk sekadar basa-basi, hal itu cukup membuat aiden terkejut dengan atensi gadis itu.
ia tahu jika acha lah yang menolong vania yang pingsan, namun ia tidak menyangka cewek yang selalu sinis di kelas ternyata setia menjaga vania sembari menunggu aiden datang.
"ah.. acha ya?" tanya aiden kikuk dan ragu-ragu.
acha mengangguk dengan santai. "alrescha alamanda. kalo lo... nugraha... ya?" tebak acha tidak yakin.
aiden sedikit tersentak. sebenarnya gadis itu tidak salah, nugraha jugalah namanya. namun alih-alih mengingat nama panggilannya, acha malah mengingat nama belakangnya?
dan jika aiden ingat lagi, acha tadi juga memanggil vania dengan sebutan nisa.
"aiden lebih tepatnya, aiden nugraha. kalo anak ini namanya vania karina nisa." ujar aiden dengan senyum lebar menahan tawa saat melihat wajah acha yang sedikit salah tingkah.
"ah.. sorry. gue emang biasanya lebih gampang inget nama belakang orang." ujar acha disertai kekehan canggungnya.
"santai aja. oh iya, lo—"
"iden?"
aiden dan acha serempak menoleh ke vania yang sudah setengah membuka matanya sembari memijit sendiri kepalanya yang masih sedikit sakit.
"vania! alhamdulillah akhirnya lo sadar juga!" heboh aiden yang kemudian sibuk mencermahi gadis itu.
sedangkan acha yang awalnya cuma bengong, pada akhirnya inisiatif mengambil air putih dan obat penambah darah.
"minum dulu, lo tadi mimisan banyak banget jadi mungkin butuh obat ini." perintah acha yang menyodorkan obat dan air putih di masing-masing tangannya.
vania dan aiden awalnya sama-sama membatu, namun vania lebih dulu mendapatkan kesadarannya dan buru-buru mengambil obat dan air putih itu.
"makasih ya, cha. lo dari tadi udah nolongin gue, bawa gue ke uks, terus nungguin gue lagi." ujar vania sembari tersenyum canggung ke acha yang membalasnya dengan anggukan dan senyum tipis.
"kemeja seragam lo kotor kena darah." ujar acha sontak membuat vania menoleh ke baju putihnya yang kini banyak sekali bercak darah.
"lah iya, van. di jok motor gue ada jaket kok, nanti lo pakein jaket aja." saran aiden.
vania tampak sedih, "gue masih mau lanjut sekolah hari ini, baru juga jam kedua..."
"nih, gue ada kemeja putih salin. lo bisa makenya dulu."
vania menatap acha dan kemeja putih yang ia sodorkan secara bergantian.
"serius, boleh?"
"boleh, gue juga ga tau kenapa hari ini gue bawa baju salin." jawab acha.
vania pun mengambil bajunya, "thanks lagi, bakal secepatnya gue balikin."
"santai aja. oiya, gue mau ke kelas, sebentar lagi bel masuk. lo cepat ganti baju terus balik ke kelas kalo udah sehat. bye."
acha berbalik dan berjalan menuju pintu keluar, dengan cepat vania kembali memanggil gadis itu.
"ACHA!"
"ya?"
"panggil gue vania, bukan nisa!"
acha kemudian tertawa cukup keras hingga vania dapat mendengarnya.
"gue tau, vania." jawab acha dengan senyum lebar sebelum kembali berjalan dan menghilang dari pandangan vania yang masih membatu.
"den..."
"ha?"
"gue kayaknya jatuh cinta deh."
"HAH?!"

KAMU SEDANG MEMBACA
SIMPANG
Teen Fictionsemakin tumbuh semakin juga mereka menyadari bahwa pilihan tidak selamanya seperti simpang empat, dimana mereka bisa memilih untuk lurus mengikuti alurnya kehidupan. kini proses menjadi dewasa membuat mereka dihadapkan oleh simpang tiga. kanan atau...