"sa?" panggil aiden setelah beberapa menit daksa enggan memberikan respon atas pertanyaan mereka.
elang dan jaf yang juga berada di meja itu kompak untuk menjadi penyimak dan enggan bersuara sebelum mengetahui kebenarannya dari daksa.
"daksa, gue tau lo pasti lebih tau tentang kebenarannya soalnya lo juga secara ga langsung terlibat dengan—"
"iya, gue tau." akhirnya daksa bersuara, meskipun mereka semua dapat dengan jelas melihat bahu daksa yang sedikit bergetar dan matanya yang mulai berair.
"gue... adalah pacar risa." lanjut daksa dengan suara yang menahan tangis. "dan kita bertiga bersahabat."
"sama acha?" tanya vania yang mendapat anggukan lemah dari daksa. jujur saja mereka semua tidak ada yang terkejut karena benang merah nya terlihat jelas. justru perkataan berikutnya yang daksa keluarkanlah yang mampu membuat keempat orang di meja itu terkejut.
"acha itu sahabat sekaligus kembaran risa."
dari banyak nya asumsi di otak mereka, tidak pernah ada yang menduga tentang fakta yang baru saja daksa beberkan.
*****
"cha, baru pulang?" tanya sosok wanita paruh baya dengan wajah lembut bak malaikat yang menyambut kepulangannya di sofa depan televisi.
acha tersenyum dan berjalan medekat, "iya, bu. maaf acha tadi mampir ke perpustakaan dulu." kemudian ia mencium tangan ibunya yang selalu tersenyum hangat.
"anak ibu pintar ya? kamu sudah makan, cha?"
"sudah, bu."
"loh kamu makan diluar lagi? padahal hari ini ibu masak kepiting saos padang kesukaan kamu. tapi gapapa deh kamu mandi abis itu tidur aja. kepiting nya bisa ibu panasin buat besok." melihat ibu nya tersenyum semakin lebar membuat acha ikut tersenyum. "ay ay siap, bu!"
setelah itu acha langsung pamit dan dengan langkah cepat berjalan menuju kamarnya.
"selamat tidur, icha." samar-samar suara ibu masih dapat ia dengar.
*****
pukul hampir menunjukan jam 12 malam, vania dan aiden masih di perjalanan pulang setelah pembicaraan panjang mereka dengan daksa.
"jangan terlalu dipikirin, nanti lo drop lagi." ujar aiden saat melihat vania terus melamun dari kaca spion motornya.
"van!"
"eh? iya? kenapa, iden?" vania yang tampak linglung membuat aiden semakin khawatir.
"jangan melamun. jangan terlalu dipikirin." ujar aiden penuh penekanan.
"gue juga mau nya gitu... tapi, den, abis dengar ceritanya daksa, gue jadi ngerasa jahat banget ke acha. padahal dunia selama ini udah memperlakukan dia dengan jahat, tapi bukannya menghibur, gue sebagai sahabat malah juga ikut jahatin dia. eh gue masih pantas ga sih klaim diri gue sendiri sahabat acha?"
aiden menghela nafas, "udah gue bilang berkali-kali itu bukan salah lo, vaniaaa!"
"tapi keputusan yang gue ambil itu salah, den!"
"gaada keputusan yang salah, van."
"tapi keputusan gue nyakitin acha."
"ingat kata gue kemarin? setiap keputusan ada harga yang harus di bayar."
"tapi acha..."
"VANIA, ATUR NAFAS LO!" teriakan aiden membuat vania baru sadar jika kini ia sedang kesulitan untuk bernafas. suara teriakan semakin sulit untuk ia dengar, bahkan beberapa orang asing yang menghampiri untuk membantu mereka tidak dapat vania lihat dengan jelas lagi. yang pasti ia terus berusaha keras untuk tetap bernafas.
karena saat ini ia memiliki tekad yang kuat untuk tetap bertahan hidup, setidaknya sampai ia bisa berbaikan dengan acha dan memastikan sahabat perempuan pertamanya itu akan terus baik-baik saja.
*****
hidup kalo ga ada masalah itu tawar, makanya nih aku kasih kalian masalah hehehe.
terimakasih banyak buat pembaca yang sudah vote dan berkomentar.

KAMU SEDANG MEMBACA
SIMPANG
Ficção Adolescentesemakin tumbuh semakin juga mereka menyadari bahwa pilihan tidak selamanya seperti simpang empat, dimana mereka bisa memilih untuk lurus mengikuti alurnya kehidupan. kini proses menjadi dewasa membuat mereka dihadapkan oleh simpang tiga. kanan atau...