retak

1K 118 2
                                    

"halo?"

"van, lo denger kan tadi di wc?"

vania membisu, menatap hampa ke layar hp yang menampilkan tampilan telpon dari 'my cha'

"van?"

"engga kok, cha."

"bohong, kalo emang engga harusnya lo bingung bukan malah jawab engga."

vania kembali terdiam beberapa saat, otakny sibuk menimbang jawaban apa yang harus ia berikan ke acha.

"cha, itu beneran?"

"lo percaya?"

"...gue ga tau. gue baru kenal sama lo, cha."

"terus lo percaya, van?" acha mengulang pertanyaan, namun kini nada bicaranya penuh penekanan.

melihat vania yang tidak bisa menjawab pertanyaannya membuat acha kembali menanyakan hal lain, "kalo gue bilangin itu bener, lo bakal gimana?"

"gue ga bisa temenan sama lo. gue... gamau temenan sama pembunuh." jawab vania dengan sedikit gugup.

"oke, masuk akal. tapi kalo gue ga ngasih jawaban itu bener atau engga, lo bakal gimana?"

"gue... tetep ga bisa temenan sama lo. kata bunda diam itu artinya iya. apalagi yang ngomong gini mereka yang lebih dulu kenal sama—"

"oke, gue udah paham sama jawaban lo kok."

"makanya, cha, please jawab dengan pasti. apa yang mereka omongin itu bener atau engga?"

"mau itu bener atau engga, yang penting disini kepercayaan lo ke gue. harusnya seburuk apapun gue dimasa lalu ga ngaruh sama pertemanan kita, kan? lo itu temen gue dimasa sekarang, bukan dimasa lalu, van."

"emang lo nganggep gue temen? lo bahkan gamau cerita ke gue tentang masa lalu lo itu kan?"

"soalnya masa lalu itu masa terberat gue. gue bukannya gamau cerita, tapi gue ga siap."

"tetep aja kan, cha, lo ga seharusnya—"

"shut up!" umpatan acha memotong perkataan vania. vania terlalu terkejut hingga tidak sadar jika detik itu juga acha mematikan sambungan telpon mereka secara sepihak. dan itu adalah kesempatan terakhirnya berbicara pada acha.

*****

"jadi gitu, den..." vania mengakhiri cerita panjangnya sambil sesegukan.

aiden yang setia menjadi pendengar disisi vania terlihat agak terkejut mendengar cerita dari sahabatnya itu. ia emang pernah mendengar tentang cerita meninggalnya risa dari 10 IPA 1, namun ia tidak pernah mendengar cerita tentang acha. mungkin saja karena 10 IPA 2 yang terlalu menutup diri, atau karena ia yang terlalu bodo amat jika itu bukan masalah tentang vania.

"menurut lo, gue salah ya, den?" tanya vania sembari menatap aiden dengan mata sembab dan merahnya.

aiden menjadi gugup harus menjawab apa. jujur saja, ia memang agak kecewa dengan sikap yang vania ambil, namun dilain sisi ia juga memakluminya karena itu adalah keputusan vania. 

"ga kok, van. itu kan keputusan yang lo ambil. gaada keputusan yang salah, tapi setiap keputusan memang harus ada harga nya."

"jadi... harga yang harus gue bayar atas keputusan yang gue ambil itu adalah kehilangan acha sebagai sahabat gue?"

aiden tidak menjawab iya atau tidak, namun dengan diamnya aiden membuat vania mengerti jika jawabannya adalah iya.

"iden, sekarang gue harus gimana? gue takut." cicit vania.

"takut sama acha?" tanya aiden sembari menyingkirkan rambut vania yang menempel di pipi karena terkena air mata gadis itu.

vania menggeleng, "gue lebih takut kalo ternyata rumor itu benar, den."













*****

gaada yang salah, semua tergantung dari 'sudut pandang siapa' kalian membaca chapter ini.

terimakasih banyak kepada pembaca yang sudah vote dan berkomentar.

SIMPANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang