"Jadi, orang yang masukin surat itu selalu dateng pagi-pagi ke sekolah, dan kayaknya kenal sama Lyra?"
"Bukan cuma kenal aja, kayaknya juga lumayan deket."
Ada rasa heran setelah Haru mendengar spekulasi Lyra. "Kenapa?"
"Ya... firasat?"
Nada ragu ditambah tidak ada jawaban yang pasti atas spekulasi itu, membuat Haru jadi mencoret kemungkinan pelakunya "kenal dekat dengan Lyra" dari kepalanya.
"Kalau gitu nanti Kak Haru coba cek siapa aja yang biasanya berangkat pagi, buat mempersempit kemungkinan." Haru tersenyum menenangkan, Lyra balas tersenyum tapi berbeda dengan Haru. Senyumnya adalah senyum harapan untuk menemukan beberapa clue agar dirinya tidak terus stuck di jalan buntu, setidaknya ada satu-dua langkah kemajuan.
"Tapi, hal apa yang mendasari orang itu ngelakuin ini?" Inilah pertanyaan yang terus membuat Haru merasa janggal. "Ada maksud tertentu atau ini cuma candaan-"
"Bukan, Ini bukan candaan!"
Haru benar-benar tidak bisa memahami yang dipikirkan gadis di hadapannya ini. Dari raut wajahnya, perkataannya, spekulasi yang tidak mendasar tapi ditekan kuat, pasti Lyra menganggap surat itu tidak biasa, tapi kenapa?
Inilah yang membuat Haru benci pada dirinya sendiri. Haru tahu kalau dirinya sangat tidak peka pada apapun, ia terima saja apa yang orang katakan mengenai dirinya yang selalu tidak bisa membaca situasi. Tapi kali ini Haru benar-benar benci akan ketidak-pekaannya, Haru tidak bisa memahami apa yang Lyra rasakan pada surat itu. Haru kesal dirinya hanya diam tanpa mengatakan sepatah kata pun pada Lyra seperti saat ini.
"Lyra?" Yuki berdiri di ambang pintu sambil melepas sepatu sekolahnya. Tadinya di rumah kediaman Yoshimura hanya ada Lyra dan Haru saja, tapi tidak lagi karena Yuki sudah pulang. Yuki pulang agak sedikit terlambat karena kegiatan ekskul.
"Lagi apa?" Yuki melihat selembar kertas HVS yang penuh coret-coretan dan sebuah surat. "Ceritanya lagi jadi detektif?"
"Yuki diem, ih! Ini lagi mikir."
Protes yang dikeluarkan dari mulut Lyra membuat Yuki jadi diam menurut. Yuki juga ikut menyimak kertas-kertas yang ada di meja, mencoba membaca situasi.
Lyra masih bersikeras mengumpulkan kemungkinan-kemungkinan yang bisa ia simpulkan. Pertama, Lyra tidak memiliki musuh. Kalau soal Revan tidak mungkin maniak basket itu meneror Lyra dengan cara murahan seperti itu, Revan lebih memilih melempar bola basket kesayangannya ke kepala Lyra dengan kencang. Kedua, meskipun ada kemungkinan kalau orang yang meneror adalah orang yang Lyra kenal dan dekat, tapi Lyra sama sekali tidak mengenal tulisan siapa itu.
"K..." Lyra bahkan menahan napasnya karena tahu apa yang akan Yuki katakan. "...dari inisialnya, sebenernya Yuki udah ngeduga satu orang. Tapi-"
"Bilang aja." Dengan bibirnya yang bergetar dan suaranya yang tercekat, Lyra mengatakannya meskipun telinganya tidak mau mendengar siapa yang akan Yuki sebutkan, Lyra tahu siapa yang Yuki duga.
Ketiga, jika melihat inisial penulis surat itu, membuat Lyra jadi ingat kalau surat itu ada bertepatan dengan seseorang yang baru saja pulang.
Yuki menatap Lyra dengan lekat sebelum bisa mengatakan jawabannya dengan ragu. "Kak Kenny...?"
"Apa yang bikin lo mikir kalau surat ini dari Kak Kenny?"
"Karena ini satu-satunya dari semua kemungkinan yang paling masuk akal."
Haru dan Yuki saling bertukar pandangan, yang berbeda dari biasanya. Yuki memang sudah menduga kalau jawabannya akan ditentang oleh kakaknya. Haru yang selalu menolak kesimpulan tanpa mendasar tidak mungkin satu pikiran dengan Yuki yang selalu memperhitungkan detail apapun. Karena dari awal, sifat dan pemikiran mereka memang sangat bertolak belakang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Chronovisor
RomanceAda lima orang yang menyukai Allysia Nara: Zafran Afif Putra, suka bolos dan malas membuatnya tidak naik kelas dua kali, meskipun begitu ia sangat jenius melebihi siapapun. Sifatnya yang jahil dan suka seenaknya itu membuatnya dibenci meskipun wajah...