Lyra melambaikan tangannya dan memberikan senyuman lebar ke Elvan, begitupun si aktor terkenal itu membalas Lyra. Setelah motor gojek yang tadi dipesan Elvan untuk Lyra sudah jalan, rasanya menjadi senyap dan sepi. Elvan hanya tersenyum kecil lalu kembali masuk ke dalam ruang ekskul musik.
Elvan mengambil gitar yang sempat membuat Lyra terpukau. Gitar itu Elvan sendiri yang mengukirnya dan ada maknanya. Elvan tahu kalau Lyra menduga seperti itu dan benar. Sebelumnya Elvan tidak pernah bernyanyi di hadapan siapapun menggunakan gitar itu, Lyra adalah yang kedua setelah ibunya. Elvan sendiri tidak tahu kenapa ia menggunakan gitar itu di depan orang lain, saat sedang bersama Lyra tiba-tiba ada keinginan memakai gitar itu dan bernyanyi.
Tiba-tiba Elvan teringat dengan Lyra yang tiba-tiba meminta sesuatu padanya, seperti anak kecil yang meminta permen—
"Kak, ajarin gue cara buat musik."
—atau lebih ke permintaan seorang gadis bangsawan kepada seorang putra mahkota yang menyamar jadi lelaki pemusik jalanan, seperti yang sering didongengkan oleh ibunya saat kecil.
"Kenapa? Lirik lagu yang kemarin susah buat nemuin instrumennya?"
"Bukan itu! Gue emang mau mendalami musik, cuma nggak ada yang bisa ngajarin gue. Kebetulan kita bisa komunikasi kayak gini yang pasti seharusnya mustahil!"
"Oke."
"...oke, apa?"
Dan Elvan tersenyum saat mengingat jawabannya.
"Saya mau ajari kamu. Tapi, suatu saat kamu harus mengungkapkan sesuatu ke saya lewat musik."
Senyumannya makin melebar saat mengingat bagaimana gadis itu kebingungan akan jawabannya.
"Ngungkapin... apa? Ngungkapin seberapa besar gue ngefans sama Kak Elvan?"
"Nanti kamu tahu sendiri."
Mengusap gitar itu pelan, lalu Elvan mengambil gitar miliknya dan dimasukkan ke tas gitarnya. Setelah menggendong tas gitarnya, Elvan mengambil kunci pintu ruang ekskul musik dan keluar. Tapi sebelum lelaki itu mengunci pintu, ada yang sudah menyambutnya.
"Dimana Lyra?"
Dan langsung melontarkan sebuah pertanyaan.
Elvan tersenyum kecil, namun agak sedikit berbeda. "Tadi dia udah pulang, saya pesenin gojek." Elvan menyadari tatapan menyelidik dari anak lelaki di depannya dan tersenyum semakin lebar.
"Maksud lo apa senyum-senyum begitu?"
"Kamu Zafran, kan?"
Zafran tidak menjawab dan hanya menunjukkan name tag yang terjahit rapi di seragamnya.
Elvan mengunci pintu sambil terus menatapi Zafran. Setelah terkunci dengan benar, Elvan memasukkan kunci itu ke saku celananya namun tangannya tidak ia keluarkan lagi. Elvan berjalan melewati Zafran hingga berhenti di sebelah lelaki itu. Kepalanya ia dekatkan ke telinga Zafran, tersenyum miring. "Lo nggak masalah kan, kalau gue ikutan ambil start?"
Seketika itu Zafran reflek memukul Elvan, tapi Elvan menghindar dengan baik dan lihai. Elvan lanjut berjalan menuju ruang guru untuk menaruh kunci. Seiring jarak mereka menjauh, semakin kuat aura perselisihan di antara mereka.
***
20 menit sebelumnya...
Zafran menuruni tangga sambil menggaruk kepalanya. Seragam serta rambutnya sangat berantakan. Tapi lelaki itu bukan sehabis tidur. Sejak pulang sekolah, Zafran sibuk membaca jurnal tentang penelitian beberapa ilmuwan dan para ahli terkait penyakit langka yang susah disembuhkan dan belum ada obatnya. Bahkan Zafran ikut mengambil kesimpulan dari beberapa pendapat dan penemuan yang berbeda-beda. Zafran juga mencoba mencoret-coret untuk membuat sebuah perhitungan yang akurat dengan teori dan rumus yang mendekati. Tapi masih belum mendapatkan kesimpulan yang pasti, memang tidak mudah untuk menemukannya.
Menggaruk kepalanya lagi meskipun tidak gatal, Zafran sedang dilema memandangi isi kulkasnya. Lelaki itu bingung memilih antara kopi dengan teh hijau. Tapi rasa bingung akan memilih minuman langsung teralihkan saat mendengar suara sepupunya. Zafran menutup pintu kulkas dengan sedikit keras.
"Lah, Sen, cepet amat?"
"Maksud lo apa!?"
Zafran menutup wajahnya saat Sena naik pitam. "Gue nanya baik-baik malah diteriakin. Nggak baik kayak gitu, Lina."
"JANGAN PANGGIL GUE PAKE TUH NAMA!"
Kali ini Zafran melompat kecil ke belakang, sengaja membuat reaksi yang dilebih-lebihkan. "Galak bener..."
"Ya, maaf, abisnya gue emosi sama temen lo."
"Siapa—"
"—eh, tadi lo kayak heran gitu gue pulang. Emangnya kenapa?"
Meskipun Zafran tadinya ingin meledek Sena yang mengalihkan pembicaraan, tapi pertanyaannya lebih penting. "Bukannya lo ekskul? Kok udah pulang? Bolos?" Dan meskipun ucapannya di akhir meledek, tapi Zafran berharap kalau itu benar.
"Dih, emangnya gue itu lo? Hari ini ekskul libur!"
Zafran langsung teringat Lyra yang menolak ajakannya untuk pulang dengannya dengan alasan ada ekstrakurikuler musik. "Tapi, tadi Lyra ekskul katanya."
"Lah, oh iya! Kuota dia abis, terus gue nggak bilang ke dia! Soalnya baru dibilang tadi. Duh, kasian tuh anak, dateng-dateng pintunya ke kunci. Pasti besok marah-marah ke gue."
Sekali itu Zafran bergegas mengambil jaketnya, menyalakan mesin motornya dan langsung menancap gas ke sekolah. Zafran berharap kalau yang dikatakan Sena benar, meskipun dirinya tidak yakin akan hal itu.
***
Setelah mendapati Lyra tidak ada di ruang ekskul musik, Zafran segera ke rumah gadis itu untuk memastikan kalau Lyra memang benar-benar pulang ke rumahnya.
Zafran langsung memasuki rumah Lyra tanpa permisi atau salam, rumah itu kosong. Saat itu Zafran sulit untuk berpikir jernih. Lelaki itu memilih opsi lain untuk menelfon Lyra, tapi gadis itu tidak kunjung mengangkat telfonnya. Tepat setelah dering telfonnya mati, pintu kamar Lyra terbuka. Lyra terlihat habis mandi, rambutnya yang basah sedang ia keringkan dengan handuk.
Lyra menuruni tangga setelah melihat keberadaan Zafran yang terdiam di ambang pintu, gadis itu membawa ponselnya. "Kak Zaf! Lo ngapain telfon gue? Berisik—"
Belum saja Lyra menghabisi jarak mereka, Zafran lebih dulu benar-benar menghabisi jarak mereka hingga tidak tersisa satu milimeter pun. Lyra yang tiba-tiba dipeluk Zafran hanya bisa menyimpan kembali omelannya. Ada satu bagian organnya yang berdetak sangat kencang, Lyra sampai berharap kalau wajahnya tidak memerah.
Hingga kesadarannya pulih, Lyra mendorong kuat Zafran dan melepas pelukannya. "LO NGAPAIN, SIH!?"
Kali ini Zafran bersikap aneh karena Lyra memang harus dijaga dengan baik. Bagi Zafran, Lyra itu seperti bunga dandelion. Kalau dibiarkan sekejap saja bisa tertiup angin dan akan hilang saat perhatiannya kembali.
Lyra juga tahu bagaimana Zafran sangat berlebihan untuk menjaganya. Tapi Lyra juga tidak bisa menganggap Zafran berlebihan, karena Lyra memang selemah dan serapuh itu. Dirinya hanya berusaha merasa kuat tanpa melihat keadaan dirinya sendiri.
Lyra dan Zafran hanya saling beradu pandang dalam diam, Lyra tidak suka tatapan Zafran yang itu. "Jangan natap gue kayak gitu. Lo tau, kan, gue nggak suka ditatap begitu." Lyra menunduk, menarik sedikit ujung seragam Zafran. Lyra tidak bisa balas menatap tatapan Zafran.
"Gue nggak mau tahu kalau gue lemah." Lyra meremas kuat seragam Zafran, menggigit bibir bawahnya.
Tidak ada yang tahu kalau Lyra dan Zafran memiliki rahasia kecil, hanya mereka berdua yang tahu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Chronovisor
RomanceAda lima orang yang menyukai Allysia Nara: Zafran Afif Putra, suka bolos dan malas membuatnya tidak naik kelas dua kali, meskipun begitu ia sangat jenius melebihi siapapun. Sifatnya yang jahil dan suka seenaknya itu membuatnya dibenci meskipun wajah...