PENJUAL GORENGAN

123 10 1
                                    

Cuaca mendung di Pasar Pedotan.

"Baru datang, Mbah?" tanya salah satu penjual kecambah, perempuan dengan rambut digelung.

"Iyo. Kawanen mau tangine," (Iya. Kesiangan tadi bangunnya), jawab Mbah Kijan seraya terus melangkah melewati los pasar sambil membawa buntalan plastik hitam yang dia bawa dengan mengikatnya di atas jok motor tadi.

"Rame, Nduk?" (Ramai, Nduk?).

"Ya, beginilah, Mbah. Kecambah sudah kurang diminati," kata perempuan yang menjajakan kecambah dari kacang hijau.

"Yo, wes, Nduk. Tak rono sek, yo." (Ya, sudah, Nduk. Saya ke sana dulu, ya).

"Ya, Mbah. Hati-hati, Mbah."

Di ujung los pasar yang sedikit pengap, Mbah Kijan menuju ke sana.

Dulu pernah dia berjualan bagian depan bangunan ini, tetapi setelah pasar direnovasi, sudah tak izinkan lagi pedagang untuk berjualan di halaman yang kini digunakan untuk lahan parkir.

Semua pedagang dipersilakan untuk menempati lapak serta los ruko yang disediakan.

Karena keterbatasan biaya, Mbah Kijan memilih untuk berjualan di depan sebuah los tutup yang belum disewa pedagang.

****

"Kecambah, Yuk," kata Warsinah.

"E, Yuk War. Kok tumben janur gunung. Biasanya sendirian. He he he," ledek penjual kecambah.

"O, lambemu wi," (O, bibirmu itu), balas Kuswanoto yang berdiri di samping Warsinah.

"Ya, tumben kok, Kang. Njenengan, kok tumben ke pasar sayur."

"Iku yo, mergo mbakyumu iki. Jane awakku yo, males." (Itu ya, karena mbakyumu ini. Sebenarnya aku ya, malas).

"Wes toh, Pak. Tidak usah kementos begitu," timpal Warsinah.

"Rame tah, Ji?" (Ramai apa, Ji?).

"Ya, beginilah, Kang. Hanya kecambah, tetapi ya, bersyukur. Semua harus disyukuri, Kang."

"Haiyo, benar iku. Zamane wes bedo, zaman wes rejo. Wuokeh pasar modern saiki." (Iya, benar. Zaman sudah berbeda, zaman sudah maju. Banyak pasar modern sekarang).

"Iya, Kang. Orang ke pasar tradisional hanya cari sayuran dan bumbu dapur saja." Seraya menyerahkan kecambah yang dibungkus plastik kepada Warsinah.

Warsinah menerimanya lalu memberikan satu lembar uang, seribu."

"La Mbah Kijan opo gak dagang, Ji?" (La Mbah Kijan apa tidak berjualan, Ji?).

"Jualan, Kang. Baru saja datang," jawab penjual kecambah yang asli bernama Puji.

"Yo, wes kalau begitu, Ji. Saya permisi dulu, ya."

"Ya, Yuk War," balas Puji.

"Eh, Mak. Mampir delok ae neng nggone Mbah Kijan." (Eh, Mak. Mampir sebentar ke tempat Mbah Kijan).

"Mau beli apa? Ini pisang kepok kesukaan Njenengan, 'toh? Katanya mau minta pisang goreng."

"Wes to. Sedelok ae." (Sudahlah. Sebentar saja).

"Ya, wes. Itu dibawa!" perintah Warsinah kepada suaminya itu.

"La kok? Mosok awakku kon nggowo ngenean." (La kok? Masak aku yang harus membawa ini).

"Terus aku yang suruh bawa begitu, ha?" Warsinah balik tanya.

"Weladalah. Retio gah melok mau awakku." (Waladalah. Tahu begini tidak ikut tadi aku). Kuswanoto menggerutu.

𝗖𝗘𝗥𝗞𝗔𝗞: 𝗔𝗟𝗜-𝗔𝗟𝗜 𝗞𝗘𝗠𝗕𝗔𝗡𝗚 𝗞𝗘𝗡𝗢𝗡𝗚𝗢Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang