BM -6-

4.6K 757 132
                                    

Selama hidupnya selalu ada orang yang akan menarik Jemian untuk bergerak. Selama hampir enam belas tahun hidupnya selalu ada orang yang akan menggenggam tangannya.

Selalu ada orang di sisinya. Entah itu Papa atau teman-temannya. Selalu ada mereka di sekitar Jemian selama ini.

Makanya saat dihadapkan pada kenyataan bahwa dia berpisah dengan teman-temannya membuat hatinya gelisah.

Menerima kenyataan bahwa mungkin Jani tak akan mau menemaninya membuat Jemian merasa was-was.

Jemian gak pernah sendiri selama ini. Selalu ada orang di sisinya.

"Eh ke kantin lah kuy!!"

Suara Haekal yang duduk di sebelahnya membuat Jemian menoleh. Setelah anak itu kembali dari ruang kepala tak ada lagi percakapan di antara mereka.

Haekal lebih memilih berbicara dengan Rendi yang duduk di depannya dari pada Jemian. Suara tawa keduanya bahkan membuat Jemian enggan untuk berbicara.

Dia menunduk. Jika begini dia rindu Kath yang akan selalu mengajaknya berbicara jika Eja dan Felix mulai asik sendiri dan tanpa sadar menyisihkannya.

Jika begini dia mulai merindukan tingkah menyebalkan Eji yang akan memainkan rambutnya hampir setiap waktu.

Jika begini Jemian mulai rindu Eja dan Felix yang akan mengapit lengannya dan memaksanya ikut ke kantin sekolah. Jika begini Jemian rasanya ingin mengulang waktu dan merubah keputusannya.

Dia menunduk membiarkan suara langkah Haekal dan Rendi yang mulai menjauh. Tatapannya jatuh pada sepatu hitamnya yang masih baru. Ternyata sulit mendapat teman baru.

"Jadi kalau di sekolah reog Lo beneran ilang??"

Jemian mengangkat pandangan. Menatap Jani yang bersedekap dada melihatnya dengan mengejek.

"Gue udah bilang kalau di sekolah gue jadi anak baik"

"Omong kosong" katanya sambil mendengus.

Jemian mendesah dan mengalihkan pandangan ke arah jendela tapi toyoran di kepalanya membuatnya menoleh sebal.

"Apa?!"

Jani berdecih dan menunjuk pintu.

"Ayo ke kantin! Itu dua curut udah nunggu bego"

Jemian tertegun dan melihat ke arah pintu. Benar, Haekal dan Rendi disana. Masih berbincang dan tertawa tapi tak sedikitpun bergerak keluar ruangan.

Jemian mendongak menghadap Jani.

"Gue boleh ikut??" Katanya pelan menunjukkan dirinya sendiri.

"Iyalah!!"

Perlahan senyum Jemian mengembang.

"Woi lama banget kalian berdua. Ayo!! Jani!! Jemian!!"

Jemian menoleh ke arah Rendi yang melambaikan tangan memanggilnya. Dia menoleh sekali lagi pada Jani kemudian merangkul bahu sosok itu.

"Ayo ke kantin, Jani!!"

🦄🦄🦄

Jani hanya mendengus saat mendengar suara Haekal yang menggelegar akibat lelucon garing milik Jemian.

"Jadinya gimana??"

"Ya ilang mati!"

Haekal tertawa bahkan untuk hal kecil yang Jemian lakukan. Jani memijat pelipisnya pelan. Agaknya Haekal dan Jemian betulan cocok. Dan itu buruk.

Satu Haekal dan satu Jemian saja sudah melelahkan apalagi kombinasi keduanya. Jani tidak sanggup.

Rendi yang pada dasarnya agak pendiam hanya menyimak sesekali menimpali jika dia merasa itu menarik. Sesekali memukul Haekal yang tertawa sambil menepuk-nepuk lengannya dengan keras.

Bad Mad ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang