Jemian tidak pernah ingat bahwa jantungnya pernah berdebar sekencang ini. Jemian tidak pernah tau bahwa laju kendaraan yang Mahen bawa bisa terasa selambat ini.
Kakinya terasa lemas. Kepalanya kosong seketika. Yang ada dipikirannya hanya Papa.
Bagaimana dengan Papa?? Apa yang terjadi?? Kenapa Papa bisa ada di tempat mengerikan macam itu??
Kenapa kenapa kenapa??!
Semua tanya itu membuat kepala Jemian terasa pening. Tangannya dingin dan berkeringat, menggenggam erat jaket yang Mahen kenakan.
"Its okay Iyan. Its okay"
Suara lembut Mahen bahkan tidak bisa menembus sedikit pun rasa cemasnya.
Saat akhirnya Mahen menghentikan motornya di parkiran rumah sakit Jemian bergegas berlari.
Mengabaikan orang-orang yang memandangnya aneh. Mengabaikan bahwa mungkin saja dia akan membuat kekacauan nantinya.
"Iyan!!"
Tangannya ditarik keras membuatnya menoleh cepat. Matanya sudah begitu merah saat menatap Mahen yang terengah.
Tangan Mahen dengan pelan turun menggenggam tangannya. Mengelus punggung tangannya dengan ibu jari anak itu. Dia tersenyum.
"Om Galih udah pindah ke ruang rawat di lantai 2, Iyan. Jangan lari. Jalannya sama kakak ya??"
Jemian mendongak.
"Jalannya yang cepet tapi ya??"
Mahen tersenyum dan mengusap kepala Jemian.
"Iya"
Setelahnya keduanya berjalan cepat dengan tangan yang bertaut. Saling berbagi rasa cemas yang sama.
🦄🦄🦄
Mahen tidak bisa menahan Jemian untuk tidak menerobos ruang rawat saat akhirnya keduanya sampai disana.
"Papa!!!"
Nafasnya terengah-engah tapi senyum tipis terbit saat menatap Jemian yang langsung disambut pelukan Papanya. Tak pernah Mahen selega ini rasanya.
"Kakak udah makan, nak??"
Suara bunda membuat Mahen menoleh dan mengangguk. Membiarkan tangan halus bunda mengelus punggungnya.
"Syukurlah"
Kemudian pandangan keduanya kompak mengarah ke bangsal saat mendengar suara Jemian yang nyaring kembali.
"Papa!!!"
Suara tawa renyah pria dewasa disana membuat Mahen merasa tenang. Syukurlah semua tidak seburuk dugaannya.
"Papa beneran gak apa-apa, cil"
Tangannya terangkat mengusap belakang kepala Jemian dengan lembut.
"Jangan nangis ahh malu sama Mahen. Nanti makin jelek!"
"Papa tuh yang jelek!!"
Mahen tersenyum.
"Dokter bilang apa Bun??"
Mahen duduk di sofa mengikuti bunda yang mengupas jeruk disana.
"Usus buntu"
Bunda mendongak menoleh ke arah Om Galih sebentar membuat Mahen mengikuti. Dan melihat pria itu mencoba menutupi telinga Jemian membuat Mahen mengerjap.
Bunda menghela nafas melihat itu dan dengan pelan menarik Mahen keluar ruangan. Mahen mengerti sekarang.
"Seburuk itu ya??"
KAMU SEDANG MEMBACA
Bad Mad ✓
FanfictionJemian hanya takut hidupnya yang tenang berubah layaknya kisah si malang Cinderella. 🏅#1 00l pada masanya 🏅#2 Jaemin pada masanya