BM -25-

5.1K 790 69
                                    

Matahari sudah tenggelam seutuhnya saat Jani sampai rumah. Senyumnya mengembang lebar dengan tangan penuh kantong plastik berisi camilan. Teman nonton bersama Jemian nanti.

Langkahnya dibawa lebar saat melewati gerbang. Dengan senandung kecil, tak sabar menyombongkan dirinya yang dapat pujian dari pelatih saat latihan tadi.

"Iyan!!!"

"Iyan, gue beli Pocky banyak!!"

Tak peduli ada yang menegur Jani masuk dalam rumah dengan semangat membara. Pandangannya meliar.

"Tumben sepi" katanya mengernyit. Pandangannya tertuju ke arah jam dinding di ruang tamu. Pukul tujuh.

Jani mengendik, mungkin Jemian belum pulang dari rumah sakit. Lalu langkahnya dibawa ke lantai atas.

Jika Jemian memang belum pulang dia harus membersihkan diri terlebih dahulu. Jadi saat Jemian pulang mereka bisa langsung menonton Sing, seperti janji mereka tadi pagi.

Jani bersiul pelan masih dengan tangan menenteng camilan, masuk ke dalam kamarnya.

"Loh, Hen??"

Bingung. Jani menatap dengan seksama apa yang Mahen tengah lakukan.

"Lo ngapain packing??"

Mahen tampak menghela nafas sebelum melanjutkan pekerjaannya melipat baju dan memasukkannya dalam koper.

"Katanya rumah kita udah selesai renov. Lo juga siap-siap gih"

Jani menaikkan alis.

"Harus banget ya sekarang?? Gue udah janji nemenin Iyan nonton. Lagian Iyan kemana sih tuh anak belum pulang??"

Jani mengalihkan pandangan.

"Gue ke kamar dia aja deh, nunggu disana. Gue udah beliin dia Pocky, Lo juga mau?? Tapi gue belinya gak ada yang strawberry sih. Nanti kalau Lo mau—"

"Iyan udah tau"

Ucapan Jani dipotong begitu saja membuat anak itu langsung terdiam.

"Hah??"

"Iyan tau, Jani"

Pegangan pada kresek camilannya melemas, jatuh begitu saja. Jani menggeleng pelan, berusaha menyangkal apa yang dia dengar.

"Apa??" Katanya pelan, senyum yang sedari tadi mengembang entah hilang kemana. Menunggu dengan seksama apa yang Mahen ingin sampaikan.

"Lo ngomong apa barusan??"

Sedangkan sosok yang lebih tua hanya bisa menghela nafas berat dan menatap Jani tepat di mata.

"Iyan udah tau. Hubungan bunda dan—"

Bugh!

Satu pukulan melayang membuat Mahen termundur. Nyaris jatuh terjerembab ke belakang.

Sret!

Kerah bajunya tiba-tiba dicengkeram erat. Mata Jani tampak berkobar saat Mahen menatapnya. Memerah dengan air mata tampak menggenang di pelupuknya.

"Lo bilang apa??!"

"Shhh"

Mahen meringis saat cengkraman itu kian erat nyaris seperti mencekiknya.

"Iyan udah tau Lo bilang?? Lo udah janji buat gak biarin dia tau, bajingan!!"

Jani berteriak keras membuat Mahen hanya bisa menutup matanya. Tidak tau harus menyangkal dengan cara apa.

"Lo udah janji ke gue, Iyan gak boleh tau. Dia lagi sakit. Dan apa Lo bilang tadi?? Dia tau??"

"Anjing Lo!"

Bad Mad ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang