BM -14-

4.2K 687 47
                                    

Rumah sakit itu tempat paling mengerikan menurut Jemian. Terlalu banyak sejarah dan legenda yang menceritakan tempat itu sebagai tempat yang menyeramkan.

Belum lagi ditambah pengalaman tak mengenakkan Jemian ketika kecil dulu. Keluar masuk rumah sakit. Datang setiap hari. Lalu tiba-tiba ditinggalkan pula di tempat yang sama.

Menyedihkan. Rumah sakit bagi Jemian adalah tempat yang menyedihkan. Seperti semua hal buruk terjadi disini.

Kakinya berhenti sesaat saat pintu lobi rumah sakit sudah ditarik Jani untuknya. Dia mendongak menatap Jani yang menatapnya bingung.

"Kenapa??"

Jemian menunduk menatap pada sepatunya yang sedikit kotor. Dia tarik nafasnya dalam-dalam sebelum masuk mendahului Jani.

"Gak apa-apa"

Jani di belakangnya hanya mengikuti. Belum tau dimana ruang rawat Papa Jemian.

Tidak seperti Jemian yang sepertinya sudah menghafal seluk beluk rumah sakit Jani hanya beberapa kali kesini. Jadi yang bisa dia lakukan hanya mengikuti saja.

Sampai pada ruangan dengan nomor 26 Jani mengikuti Jemian masuk ke dalam.

"Oh! Kok udah disini sih?!"

Tunjuk Jani pada Mahen yang santai duduk pada sofa menikmati apel yang dipotong kecil-kecil.

Dia merengut kemudian duduk dan merebut mangkuk di tangan Mahen.

"Gak boleh pelit"

Mahen hanya bisa memutar mata malas.

Jemian tak lagi peduli kepada mereka karena langkahnya langsung membawanya ke arah ranjang tempat Papanya tampak terpejam.

Dengan pelan Jemian mendekat meletakkan kepalanya di atas lengan Papanya. Sedih sekali.

Ini pertama kalinya Jemian melihat Papanya tidur di ranjang pesakitan seperti ini. Jadi begini rasanya. Begini perasaan Papa setiap kali melihat Jemian tidur di ranjang ini.

"Sudah pulang??" Suara serak Papa menyentaknya tapi hanya Jemian balas anggukan.

Usapan lembut pada kepalanya terasa. Disertai pijatan kecil pada pelipisnya.

"Udah makan kan??"

Lagi-lagi Jemian hanya mengangguk.

"Mana coba liat muka jelek anak Papa"

Jemian mengerang sebelum mengangkat wajah dan menatap Papanya. Sosok yang lebih tua tersenyum dengan tangan terulur mencubit pipi Jemian.

"Makin jelek"

Bibir Jemian hanya mencebik. Tangannya meletakkan tas di samping nakas sebelum naik dan berbaring tepat di sebelah Papanya.

Dengan hati-hati memeluk sosok kesayangannya itu. Jemian memejam merasakan halus usapan tangan Papa di atas lengannya.

"Capek??"

Tangan Papa beralih ke kepalanya. Menyisir rambut Jemian dengan jari-jarinya.

"Lumayan. Tadi diajak ke rumah Jani"

"Oh ya??"

"Rumahnya belum jadi"

Papa terkekeh kecil.

"Kalau sudah jadi mereka gak akan tinggal bareng kita lagi bukannya cil??"

Jemian terdiam dan mendongak menatap wajah Papanya. Menyadari apa yang Papanya katakan benar adanya.

"Terus kapan rumahnya jadi??"

Galih tampak berfikir sejenak.

"Sebulan lagi mungkin?? Papa juga kurang ngerti"

Bad Mad ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang