42. Get Away From You

11.4K 404 20
                                    

Bagian Empat Puluh Dua

"Terimakasih pada diri karena telah berani mengambil sebuah keputusan sulit."

21 Juli 2022
Deardess mempersembahkan:
Get Away From You chapter 42| Get Away From You

— Get Away From You —

Fabian: Lo yang nyamperin gue, atau gue yang nyamperin lo?

Maureen sempat meragu saat hendak menerima keinginan Fabian untuk bertemu. Dia merasa hubungan antara dirinya dengan Fabian sudah berakhir, meski masih banyak hal harus mendapat sebuah penjelasan.

Maureen sadar saat terakhir kali bertemu, Fabian tidak bisa menerima keputusan yang telah ia buat. Lelaki itu seolah ingin bertahan dengan Maureen, tapi ia tidak pernah memperlakukan Maureen dengan baik.

Pada akhirnya, Maureen tidak bisa menjadi seorang pengecut. Ia beranjak dari zona nyamannya untuk bersitatap empat mata secara langsung dengan Fabian.

Hari itu, ia menemui Fabian di tempat yang sama saat ia menyaksikan ratusan kembang api meletup di udara. Fabian tengah termenung seorang diri. Menatap tenangnya air danau dengan kepala tertutup tudung hoodie.

Helaan napas panjang terdengar keluar dari mulut Maureen. Sebelum akhirnya, dengan tekad yang kuat, gadis itu memberanikan diri untuk berdiri tepat di samping Fabian.

"Apa yang mau kamu bicarain?" tanyanya tanpa basa-basi.

Fabian yang menyadari kehadiran seseorang di sampingnya menoleh. Mata yang terakhir kali menyorotnya tajam itu kini menatap Maureen dengan pandangan datar.

Penampilan Fabian tampak berantakan. Kantung di bawah kedua matanya tidak bisa berbohong bahwa lelaki itu kekurangan waktu untuk tidur.

"Kita belum putus," cetus Fabian. "Gue nggak pernah setuju buat putus dari lo. Lo nggak bisa putusin gue gitu aja."

Maureen terdiam mendengar penuturan Fabian. Ia menundukkan kepala. Agaknya keputusan untuk bertemu dengan Fabian memang salah. Harusnya dia tidak menemui Fabian. Harusnya ia menolak ajakan lelaki itu dengan tegas.

"Kalau gitu, kasih tahu aku gimana cara agar kamu setuju dengan keputusan yang aku buat," pinta Maureen, lirih. Dia benar-benar tampak ingin mengakhiri segalanya.

Berbanding dengan Maureen yang berusaha untuk pergi, Fabian malah menyorotkan netra tajamnya pada Maureen. Kentara bahwa ia tidak suka dengan perkataan terakhir yang Maureen katakan.

"Maureen, lo dengar, ya. Sampai kapan pun, kita ga akan pernah putus," ujar Fabian penuh penekanan dalam setiap katanya.

Maureen menghembuskan napas lelah. Lalu dengan segala keberanian yang ada dalam dirinya, dia mengangkat kepala, menatap Fabian dengan pandangan penuh luka.

"Dan sampai kapanpun aku akan terus ada dalam pengawasan kamu. Gitu, kan, yang kamu maksud?"

"Fabian, aku itu udah terlanjur capek hadapi sikap kamu. Aku harus sabar sampai mana lagi kalau kita tetap jalin hubungan ini? Sampai Tuhan cabut nyawa aku?" sambung Maureen sarkas.

Fabian terdiam, memikirkan segala perkataan Maureen yang terlalu menyakitkan bagi dirinya. Ia memang seburuk itu, ya?

Lantas sekarang dia harus apa?  Haruskah dia menurunkan egonya dan memohon-mohon pada Maureen agar tetap berada di sisinya? Cih, bahkan seumur hidupnya Fabian tidak pernah melakukan hal semenjijikkan itu.

Hembusan napas kasar terdengar keluar dari mulut Fabian. Lelaki dengan ego yang tinggi itu mencengkram pembatas danau dengan kuat. Menyalurkan segala emosi yang berkecamuk dalam dirinya.

Lalu dengan berat hati, mulut yang terbungkam rapat itu terpaksa mengatakan hal yang sukar untuk dilakukan.

"Fine," katanya, "gue akan berubah jadi cowok yang lo mau."

"Cowok yang gak akan pernah ngatur-ngatur kehidupan lo, cowok yang nggak akan larang semua kegiatan lo, atau bahkan nguntit kehidupan lo. Lo bebas Maureen," katanya lagi. "Terserah lo mau lakuin apa di luaran sana."

Maureen terdiam, sejenak pikirnya tampak menimang. Lantas kini, haruskah dia percaya dengan segala ucap yang terlontar keluar dari mulut Fabian?

Maureen menipiskan bibir. Dirinya tidak boleh goyah jika tidak ingin kembali kalah dan terkurung bersama segala hal tentang Fabian. Ya, dia harus bisa tegas pada dirinya sendiri. Maka sejak hari ini, Maureen akan tetap pada tekadnya.

"Lelaki itu harus bisa dipegang ucapannya," ujar Maureen. "Buktiin semua yang telah kamu ucap barusan, tapi bukan ke aku, melainkan ke perempuan yang nanti akan kamu temui di masa depan."

"Aku akan tetap dengan keputusan aku, Fabian, maaf." Pada akhirnya, Maureen berhasil mengambil sikap tegas pada dirinya sendiri. Tidak peduli sudah setajam apa tatap yang Fabian beri, gadis itu akan tetap berdiri pada tekadnya yang kuat.

"Kita sama-sama punya luka, Bian. Akan lebih baik kalau kita fokus mengobati luka pada diri masing-masing. Setelahnya, aku harap kita bisa fokus untuk perbaiki apa yang salah dalam diri kita dulu."

"Seandainya takdir Tuhan memang menetapkan kita untuk bersama, di masa depan nanti, kita pasti akan bertemu dengan versi terbaik dari diri kita masing-masing," ujar Maureen, terang-terangan menyorot Fabian yang juga tengah menatapnya dengan penuh amarah. Ia tahu keputusan yang ia buat telah menyulut emosi lelaki itu.

"Bacot lo!" Fabian menyuarakan kekesalannya. Tidak peduli yang ada di hadapannya saat ini seorang perempuan, segala umpat akan tetap keluar dari mulut lelaki itu. Lihat, ucapnya yang akan berubah itu hanyalah sebuah ucap tanpa pembuktian.

Mendengar dirinya kembali dimaki oleh Fabian, Maureen menghela napas panjang. Merasakan sesak yang kembali menyelimuti diri, meski sudah terbiasa mendapat segala umpat dari mulut Fabian.

"Kalau kamu memang ingin berubah, coba dari hal-hal kecil dulu. Contohnya, belajar perbaiki tutur kata, dan terima keputusan yang aku buat." Maureen tak gentar menyuarakan isi hatinya.

Mendapat kalimat seperti itu, membuat Fabian diam tidak berkutik. Lelaki itu membuang muka, tidak ingin bersitatap dengan Maureen.

Maureen yang tahu betul bagaimana tabiat seorang Fabian pun kembali menipiskan bibir. Dirinya harus pandai mengolah rasa sabar jika sedang berhadapan dengan Fabian.

"Kalau nggak ada lagi hal yang ingin kamu bicarain, aku ijin pamit. Dan tolong terima semua keputusan yang telah aku buat."

Fabian tetap diam dengan mulut terkunci rapatnya. Melihat itu, Maureen menerka dalam hati, entah Fabian masih menimang segalanya atau dia tengah meredam amarah, Maureen tidak tahu. Yang pasti kali ini dia akan tetap melangkah pergi. Meninggalkan Fabian seorang diri seperti waktu terakhir Fabian pergi meninggalkan dirinya di tempat yang sama.

Ada sedikit perasaan lega dalam setiap sesak yang menyelimuti diri Maureen. Tidak bisa dipungkiri, bahwa rasa yang dimilikinya untuk Fabian membuat Maureen sedikit sulit untuk mengambil keputusan. Namun, Maureen tidak ingin menjadi seorang budak cinta yang bodoh dengan tetap bertahan dalam sebuah hubungan tidak sehat. Baik dirinya maupun Fabian sama-sama punya luka yang harus disembuhkan.

Hari itu, di tempat yang pernah menjadi tempat indah, karena kalimat 'i love you' pernah terucap dari mulut Fabian, Maureen benar-benar mengakhiri hubungannya. Dalam sejarah panjang hidupnya, tempat ini mungkin akan menjadi tempat yang menyimpan tawa bahagia sekaligus tangis penuh rasa sakitnya.

Terimakasih, dan sampai jumpa lagi.

— Bersambung —

Get Away From You [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang