29. Luka Tersembunyi

4.3K 292 17
                                    

Bagian Dua Puluh Sembilan

"Ada yang lebih sukar dari mendapatkan hatinya, yaitu mendapatkan setitik kepercayaannya.

25 Juni 2022
Deardess mempersembahkan:
Get Away From You chapter 29| Luka Tersembunyi

— Get Away From You —

Dari banyaknya insan yang ada di dunia, Maureen tidak mengerti kenapa dia harus dipertemukan dengan orang yang bernama Fabian.

Ketika menjalani hubungan dengan Fabian, entah ia harus menyebutnya keberuntungan atau sebuah malapetaka, karena Maureen bisa merasakan keduanya dalam satu waktu. Jadi, takdir apakah itu sebenarnya?

Langit telah menggelap ketika Maureen tiba di kompleks perumahannya. Gadis itu berjalan gontai menyusuri jalanan menuju rumahnya di nomor 19.

Senja tidak datang sore ini. Langit sepenuhnya mendung karena matahari tidak menampakkan diri hingga sang bulan menggantikan tugasnya menyinari bumi.

Hembusan angin yang dingin di penghujung waktu terasa menerpa kulit, membuat tangan Maureen tergerak untuk merapatkan outer yang dikenakannya.

Setibanya di rumah, bukannya ketenangan, nasib malang malah ia dapati. Dirinya dihadapkan dengan Fabian yang tengah menyorotnya dengan pandangan penuh selidik.

Lelaki itu bergeser dari hadapan pintu. Kakinya melangkah lebar, menemui Maureen yang masih terdiam di depan gerbang rumah.

"Darimana?" tanyanya, terucap keluar dari mulut dengan raut wajah datarnya.

Maureen tergugu. Enggan dia bersitatap dengan sorot mata tajamnya. "Jalan-jalan," balasnya mengalihkan pandangan. Ke mana pun. Asal netranya tidak saling memberi kontak.

"Sendiri?" Fabian meragukan.

"Y-ya iya. Lagian sama siapa lagi aku bisa jalan-jalan."

"Cowok baru lo, mungkin." Fabian mengangkat kedua bahunya acuh. Siapa yang tahu tentang tingkah Maureen di belakang sana. Kemarin saja dia bisa bersenang-senang dengan Regan, kenapa hari ini tidak?

"Nggak usah ngawur. Aku emang pergi sendiri, Bian," terangnya. Lama-lama dia merasa lelah juga selalu dicurigai. "Kamu ngapain di sini?" tanyanya kemudian.

"Ngalihin pembicaraan?" Namun, memang pada dasarnya Fabian terbuat dari tanah dengan kandungan menyebalkan, lelaki itu tetap selalu menaruh prasangka buruk terhadap dirinya.

Maureen menghela napas panjang. Lelah, tapi dia tidak bisa menunjukkan rautnya secara terang-terangan. "Aku udah kasih tahu yang sebenarnya. Aku harus apalagi biar kamu percaya?"

Fabian tidak menurunkan ego. Simpati pun tidak melingkup dalam hatinya. Lelaki itu tetap pada tabiatnya yang tidak mudah percaya dengan segala alasan yang Maureen bagi.

"Hape lo," katanya, memberikan ponsel milik Maureen yang ia ambil kemarin. Lihat, kini malah bukankah Fabian yang terkesan mengalihkan pembicaraan?

Maureen menyimpan ponsel itu dengan baik. Dia tidak mengerti kenapa Fabian repot-repot mengambil ponselnya semalam. Dia kira ponsel itu memang tidak akan pernah dikembalikan lagi, tapi ternyata tidak.

"Jangan respon chat dari cowok lain lagi. Lo nggak usah gak enakan, kalau emang gak penting abai-in aja," pesannya saat itu. Terkesan memerintah karena memang dia tidak suka jika Maureen merespon pesan dari lelaki lain.

"Lo harus sadar posisi lo ada di mana, Maureen. Lo itu pacar gue. Jangan pernah sekalipun punya pikiran buat selingkuh dari gue. Kalau mau bareng cowok lain silakan, tapi setelah lo putus dari gue, dan gue nggak akan pernah biarin hal itu terjadi, karena lo nggak berhak minta putus." Fabian memberi peringatan.

"Satu lagi, gue ini pacar lo. Kalau mau jalan kabarin gue, nanti gue temani," tuturnya, sebelum benar-benar berlalu dari hadapan Maureen. Mungkin Fabian resah mengetahui Maureen keluar seorang diri, tapi apakah iya Maureen akan merasa nyaman pergi refreshing ditemani lelaki itu?

* * *

Dalam hidup memang banyak teka-teki yang sukar untuk dipecahkan. Salah satunya tentang perasaan manusia. Tidak ada yang lebih memahami kita selain diri sendiri. Senang, sedih, gundah, maupun patah, hanya kita seorang yang dapat memahami rasanya dengan baik.

Ya, manusia lain mungkin juga tahu bagaimana jenis rasanya, tapi tentu itu akan berbeda, karena hal yang tiap manusia hadapi itu beragam. Situasinya tidak akan persis sama.

Cara tiap insan untuk menghadapi segala persoalan di dunia pun berupa. Ada yang berkoar pada teman, tetangga, keluarga, maupun kenalannya di sosial media. Mereka bebas berekspresi, mengutuk, mengumpat, bereuforia sesuka hatinya. Namun, ada juga yang memilih diam membisu. Menutup rapat segala persoalan agar dunia tidak tahu bahwa, hatinya sedang rapuh. Biarlah hanya dirinya seorang bersama dengan Tuhan—yang telah mengatur takdir hidupnya—yang tahu.

Manusia-manusia dengan raut gembira dan canda tawa yang mengudara, diam-diam tangisnya tumpah dalam keheningan. Ditemani sunyi senyap, dalam temaramnya ruang hampa seseorang pun di dalamnya. Hanya dia, seorang, bersama dengan luka yang bersemayam dalam hatinya.

Dia tengah meratapi takdir hidupnya yang begitu pelik. Mengutuk semesta dalam hati, dan merutuki dirinya sendiri yang telah mengambil sebuah keputusan dengan tergesa. Membuat dirinya kini berada dalam ujung tanduk kehidupan. Sekali saja kakinya salah melangkah, ia akan terjatuh ke dalam jurang penuh bebatuan kasar.

Maureen terdiam di depan pintu. Telinganya fokus mendengar isak tangis yang sanggup menyayat hati. Dalam diam, Tantri ternyata sering menangis tanpa bahu tuk bersandar.

Maureen menghela napas panjang. Gadis itu mendongakkan kepala, dia mengerjap-ngerjapkan matanya berulang kali, menahan air mata agar tidak luruh ke pipi.

Dia tahu bercerai adalah pilihan berat yang sudah Tantri ambil. Dia tidak boleh mementingkan dirinya sendiri, ada Brianna yang masa depannya harus ia pertimbangkan pula. Maureen salut dengan wanita itu, dia berani mengambil langkah agar tidak terus-terusan hidup dalam kungkungan manusia brengsek seperti Bayu.

Dalam keheningan itu, langkah kaki seseorang terdengar memasuki rumah. Brianna baru pulang setelah bermain dengan anak para tetangga. Anak itu berlari dengan langkah kecilnya hendak menghampiri Tantri. Namun, belum sampai ia menuju kamar, Maureen lebih dulu menghadang langkahnya di ruang tamu.

"Mama mana?" tanyanya dengan suara gemas.

Maureen mengulas sebuah senyuman kecil. "Ada," balasnya, "tapi lagi sibuk, Brianna gak boleh ganggu dulu."

Terlukis raut sedih di wajah Brianna. Gadis itu cemberut, meski usianya tergolong kecil, dia selalu mengerti jika ibunya tengah sibuk dengan urusan pekerjaan.

"Jangan sedih dong, gimana kalau kita beli es krim di depan? Onti yang beliin."

"Tapi kata Mama, Bri nggak boleh makan banyak-banyak es krim."

"Nggak banyak, kita beli satu aja. Satu buat Bri, satu lagi buat Onti."

"Oke, tapi Bri pengennya es krim yang ada bobanya."

"Iya, ayo kita beli."

Maureen menuntun langkah Brianna keluar dari rumah. Anak itu tampak ceria dengan mulutnya yang tak pernah berhenti berkicau. Maureen menanggapinya dengan senyuman, sesekali dia juga menanggapi pertanyaan-pertanyaan yang keluar dari mulut Brianna.

Langkah keduanya hendak keluar dari gerbang rumah. Namun, baru saja Maureen membuka gerbang itu lebih lebar, seseorang tiba-tiba datang, menghentikan langkah kedua anak perempuan itu.

"Bude?"

— Bersambung —

Get Away From You [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang