PROLOG

32.4K 1.4K 120
                                    

Namanya Fabian. Seperti lautan, dari kejauhan dia terlihat begitu indah. Namun, saat kita mendekat dan menyelam semakin dalam, kita akan tahu bahwa ada berjuta misteri yang tersimpan di dalamnya.

Kata orang, kamu itu sempurna. Kataku pun juga begitu; menganggapmu dengan segala yang ada dalam hidupmu begitu indah tanpa celah. Hingga ... kita lupa akan sebuah kenyataan bahwa Tuhan tidak menciptakan sesuatu yang sempurna.

Perlahan pandanganku pun mulai berubah. Kamu indah, dengan celah.

Kamu ... bagai dua arus yang bertemu di lautan yang sama. Terlihat indah, tapi ternyata berbahaya. Arusnya terlihat damai. Namun, saat kita menyelam ke dalamnya, kita akan terseret, terombang-ambing, dan takkan mampu melawannya. Kita hanya bisa diam, berserah, mengikuti ke manapun arus itu membawa kita pergi.

Aku pikir bertemu denganmu adalah sebuah anugerah. Aku pikir hidupku akan jauh lebih terarah, tapi ternyata aku salah. Kamu ... adalah sebuah masalah. Kamu ... membuatku hilang arah. Dan kamu ... membuatku selalu ingin menyerah.

— p r o l o g —

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

— p r o l o g —

Bagi Maureen, kehilangan kedua orang tua bagai mimpi buruk yang berlangsung sepanjang hidupnya. Apalagi, Ibu. Ibu adalah malaikat yang punya begitu banyak rasa sabar. Dia selalu mampu tersenyum meski letih menyerang seluruh anggota tubuhnya.

13 tahun sudah Maureen hidup tanpa sosok kedua orang tua di sampingnya. Jangan tanya rasanya bagaimana, karena semuanya terasa tidak memiliki arti. Hari-hari Maureen terasa sepi; kelam tanpa makna.

“Ma ... Mama sama Papa apa kabar?”

Maureen terduduk di pinggiran makam sang ibunda. Tangannya bergerak mengelus pelan nisan yang mulai usang termakan usia.

“Mama sama Papa pasti udah bahagia di surga, ya?”

“Setiap malam Maureen nggak pernah absen berdoa, minta sama Tuhan buat sediain satu tempat paling indah untuk Mama dan Papa di surga.”

“Mama jangan khawatir, aku di sini baik-baik aja. Ya ... walau kadang banyak nggak baiknya.” Maureen tersenyum getir. Mati-matian menahan air mata agar tidak luruh membasahi pipi.

Helaan napas panjang terdengar keluar dari mulut Maureen. Gadis itu mulai membersihkan dedaunan juga ranting pohon yang berserakan di sekitar tempat peristirahatan terakhir kedua orang tuanya.

Makamnya saling bersisian. Sengaja dibuat begitu, karena orangtua Maureen meninggal di waktu yang sama. Saat menempuh perjalanan menuju Yogyakarta—tempat kelahiran ayahnya.

Mobil yang dikendarai sopir keluarga Maureen hilang kendali di jalan tol dalam kecepatan penuh. Diduga saat itu sopir tengah mengantuk, hingga mobil menabrak bahu jalan.

Beruntung yang terjadi saat itu kecelakaan tunggal. Jadi, tidak banyak memakan korban jiwa. Namun, tetap saja, Maureen harus rela kehilangan kedua orang tuanya di usia lima tahun. Usia yang tergolong masih membutuhkan banyak kasih sayang orang tua.

Maureen menundukkan kepala. Dalam dinginnya embus angin yang menusuk kulit, gadis itu terisak pelan.

Meski sempat berusaha menahan diri untuk tidak menangis, nyatanya Maureen tidak bisa. Air mata pilu itu tetap jatuh ke atas tanah pemakaman.

“Maureen minta maaf belum bisa jadi anak yang membanggakan untuk Mama dan Papa," lirihnya. Gadis itu mengulas senyum dengan mata sembab juga perasaan sedih luar biasa.

Bersamaan dengan itu, rintik hujan mulai turun membasahi bumi.

Maureen mendongakkan kepala. Langit mendung dengan awan hitam menggumpal di atas kepala. Dia harus segera pergi jika tidak ingin seragamnya yang masih harus digunakan di hari esok basah kuyup.

Langkah kaki Maureen bergerak cepat meninggalkan area pemakaman. Sepatu putih dari hasil uang tabungannya kini kotor dipenuhi tanah merah. Maureen mendesah pelan. November, menjadi bulan musim penghujan. Bulan yang penuh kesenduan juga haru dan pilu.

Baru saja gadis itu hendak menyebrangi jalan untuk berteduh di depan sebuah ruko, seseorang tiba-tiba menahan pergelangan tangannya dengan kuat.

Maureen berbalik seraya meringis pelan.

Mata bulat gadis itu terlihat semakin membulat tatkala melihat Fabian berdiri di hadapannya.

Ia meneguk ludah susah payah. Jantungnya berpacu dengan cepat. Rasa sedih yang mulanya dia rasakan kini sirna digantikan oleh perasaan takut luar biasa.

“Lo budek?!”

“Gue telfonin dari tadi kenapa nggak diangkat?!” Rahang Fabian mengeras dengan sorot mata tajam yang mampu menusuk hingga ke relung hati paling dalam. Kilatan amarah tercetak jelas dalam kedua bola matanya.

Maureen tergugu. Tubuh gadis itu bergetar seiring dengan cengkraman Fabian di pergelangan tangannya yang semakin menguat.

“Maaf, Bian," lirihnya. "Aku nggak pegang hape selama di pemakaman.”

Mendengar itu, Fabian berdecak kesal. Jelas, dia paling tidak suka diabaikan.

“Lain kali nggak usah jengukin lagi nyokap-bokap lo yang udah gak bernyawa itu!”

Dan setelahnya, tarikan kuat Maureen rasakan. Fabian membawanya pergi menuju motornya yang terparkir tidak jauh dari pintu pemakaman. Lelaki itu membawa Maureen bersama dengan luka yang kembali dia torehkan dalam hatinya.

— Bersambung —

Hai, hai, ini adalah cerita ke-3 aku ^^

Gimana first impression kalian tentang Fabian dan Maureen setelah baca prolognya?

Kesel gak sama Fabian?

Seandainya dia nyata, mau kalian apain?

Dan ngomong-ngomong, kalian tahu cerita ini dari mana?

Udah follow akun wattpad aku belum? Follow dulu yuk sebelum baca ^^

Jangan lupa juga follow akun TikTok dan Instagram aku @deardess806 ya ^^

Oke deh, daripada penasaran, mending langsung baca aja. Jangan lupa vote dan komentar sebagai dukungan untuk penulis. Aku seneng kok dapet notif dari kalian sampe bejibun.

Ditunggu vote dan komennya ya ^^

Happy reading!

Tertanda, Deardess ♡

Swipe up untuk baca bagian 1 cerita GAFY

Get Away From You [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang