chapter 21

3.8K 517 18
                                    

"aku punya baju balu, kemalin aku beli waktu libul," cerita Kelvin sambil merogoh tas yang berlogo salah satu brand baju ternama.

Gama hanya menatap Kelvin dengan malas. Dia seperti sedang menonton artis-artis yang biasanya menjual produk di tv.

"Telus aku juga beli jam. Liat, calanya cuma dipukul ke tangan aja abis itu jadi deh." Tangannya melepas sebuah jam tangan yang sedari tadi melingkar di lengannya.

"Abang, apa tanganna ndak sakit?" Tanya Gaga yang sedari tadi menyimak dengan muka polosnya.

Kelvin menoleh, matanya mengerjap pelan. Iya juga ya, kenapa setelah Gaga bertanya rasa sakitnya baru terasa?

Tiba-tiba saja matanya berkaca-kaca, bibirnya bergetar bertanda sebentar lagi air matanya akan menetes.

"Cengeng," cibir Gama namun tangannya mengusap-usap lengan Kelvin yang sedikit memerah.

Gara tersenyum tipis melihat tingkah sang adik. Dia baru pertama kali melihat Gama baik pada seseorang selain adik mereka.

"Kakak, Gaga balu ingat, semalam Gaga dengel Yayah nanis," bisik Gaga sambil menarik-narik ujung seragam yang dikenakan oleh Gara.

Gara menoleh lalu mengelus pipi kemerahan sang adik, "ayah nangis kenapa hm?" Tanyanya.

Gaga menggeleng hingga rambutnya bergoyang, "Gaga ndak tau, awalnya Gaga pikil itu suala hantu."

Flashback

Cahaya dari benda elektronik itu menjadi satu-satunya sumber penerangan dari kamar yang ditempatinya selama beberapa tahun terakhir ini. Xeon masih menyelesaikan pekerjaannya yang belum ia selesaikan lantaran harus pulang cepat demi menjaga anak-anaknya.

Namun entah kenapa keheningan malam itu terasa mencekiknya tiba-tiba. Ia teringat sosok sang istri yang biasanya menemaninya bekerja sambil bercerita tentang film yang ia tonton.

Atau terkadang Hana akan menceritakan kesehariannya dengan senyum lebar yang senantiasa hadir di wajah cantiknya. Xeon tidak akan pernah bisa melupakan sosok istrinya itu.

"Apa yang harus mas lakukan supaya mas bisa ikhlaskan kamu, Hana?" Bisiknya parau.

Xeon terisak pada tengah malam itu. Ia benar-benar menangis, merindukan sosok sang istri yang sudah lama berpulang.

"Yayah jangan nanis..." Sebuah pelukan dari arah belakangnya sukses membuat Xeon berhenti menangis. Pria itu langsung menghapus air matanya lalu meraih tubuh sang anak supaya duduk diatas pangkuannya.

Xeon hanya diam sambil memeluk tubuh Gaga. Maniknya menatap kearah jendela yang menampilkan lampu-lampu jalanan dan rumah yang terlihat begitu indah.

"Yayah kenapa?" Tanya Gaga sambil menepuk-nepuk pipi sang ayah.

Xeon hanya diam sambil menggeleng. Bibirnya tersenyum tipis kemudian mengecup pipi Gaga.

"Ayah hanya," Xeon menghentikan ucapannya yang terdengar serak itu. Ia meneliti wajah sang putra yang sekilas mirip dengan mendiang istrinya.

"Ayah hanya kelelahan," ujarnya sambil mencoba untuk tersenyum.

Gaga mengangguk kemudian semakin mengeratkan pelukannya. Jari-jari kecilnya memainkan telinga Xeon. Mata bulatnya mengerjap pelan, menghalau cairan panas yang hendak mengalir.

"Gaga ndak suka liat Yayah sedih, bial Gaga aja yang nanis, Yayan jangan."

Xeon bingung. Apa dia harus merasa sedih atau terharu? Ucapan bungsunya itu terdengar sangat lucu di telinganya.

Come BackTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang