BAB 2

2.9K 528 79
                                    


"Tuhan adalah tempat dimana kita meminta, bukan untuk memaksa"


°°°

Seorang gadis berumur 23 tahun dengan memakai tunik berwarna matcha dan dipadukan dengan rok plisket berwarna putih dan jilbab moka menutup dada dengan tas gendong yang menyampir dibahunya.

Suasana kota Malang yang panas, membuat gadis itu memegang satu cup minuman rasa taro kesukaannya.

Gadis tersebut berdiri di depan halte, sambil menunggu taksi yang akan mengantarnya pulang.

Gadis tersebut hanya datang ke kampus untuk meminta tanda tangan dari dosen pembimbingnya dan dalam waktu dekat akan diwisudah.

Mengingat perjuangannya untuk meraih gelar yang sangat diinginkannya membuat Dinda merasa sangat bangga dengan dirinya sendiri. Walaupun untuk menjadi Dokter masih perlu perjalanan panjang bagi Dinda tetapi dirinya harus mewujudkan cita-citanya.

"Dinda..."

Gadis tersebut menoleh saat merasa namanya dipanggil oleh seseorang di seberang jalan.

Adinda Az-Zahra Utami, mahasiswi kedokteran dengan tinggi badan 158 cm dan berat badan 50 kg.

"Din, belum pulang?" Tanya seorang gadis berambut panjang bernama Ester.

Ester Maria Habetan, teman dekat dari Dinda. Mahasiswa Pendidikan Biologi, bedanya Ester harus mengulang 1 semester dan mengharuskan dirinya tidak bisa lulus bersamaan dengan Dinda.

Ester adalah teman baik Dinda, walaupun beda agama tetapi dalam pertemanan mereka sangat terjalin dengan baik dan menegakkan sikap toleransi.

"Belum," jawab Dinda sambil menggelengkan kepalanya.

"Hari Minggu kamu sibuk nggak?" Tanya Ester lagi.

"Belum ada rencana apa-apa, jadi aku nggak bisa mastiin sibuk atau nggak."

Ester mengangguk-anggukkan kepalanya. "Temenin aku buat cari hadiah untuk pacar aku dong Din," ucap Ester sambil memegang lengan Dinda memohon.

Dinda menghela nafasnya panjang, "memangnya hari Minggu kamu nggak ibadah?" Tanya Dinda.

Khanza menyengir, "ijin dulu."

"Ter, beliin hadiah untuk pacar kamu itu bisa nanti. Ibadah itu nomor satu, pacaran itu dinomor kesekian yang diprioritaskan. Aku nggak mau nemenin kamu," ucap Dinda langsung menolak.

"Astagfirullah, Dinda jahat banget."

Jangan heran jika Ester sering menyebut istighfar, ini disebabkan oleh Dinda yang sering menyebutkan hal itu sehingga membuat Ester tertular menyebutkannya.

"Nggak bisa Ester, kecuali kalau kamu janji bakalan pergi ibadah dulu nanti aku temenin pas sorenya."

Ester menganggukkan kepalanya, "iya aku bakalan pergi ibadah, tapi kamu janji kan bakalan nemenin aku?"

Dinda menganggukkan kepalanya, "insyaallah jika tidak ada halangan mendadak. Tapi, kenapa harus aku? Kenapa kamu nggak ngajak Khanza aja?"

"Aku butuh saran dari kamu buat hadiah yang cocok untuk pacar aku, kalau ngajak Khanza aku ngga percaya. Bukannya ngebantuin malah bikin emosi aku naik nanti."

Dinda tertawa, jika Khanza mendengar perkataan Ester bisa-bisa kepala anak ini di timpuk dengan buku tebal yang selalu Khanza bawa ditangannya.

BRUK

"Aduh," Ester memegang kepala bagian belakangnya saat merasa ada sesuatu yang menimpuknya walaupun tidak terlalu keras.

Dinda membulatkan matanya, baru saja ia memikirkan tentang Khanza dan gadis itu tiba-tiba saja sudah berdiri di belakang Ester.

Cinta Mengarah Kiblat Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang